Minggu, 24 Agustus 2014

Taqdir serta Qadha dan Qadar

Bismillah Ar Rohmaan Ar Rahiim


Taqdir serta Qadha dan Qadar (T-Q-Q)


Inti dari pembahasan TQQ sbb. :
·          Pembahasan taqdir harus dipisahkan dari Pembahasan Ikhtiariah (Usaha) manusia.
·          Hasil ikhtiariah (Usaha) merupakan taqdir yang sudah ditentukan oleh Allah (INGAT perlambang bahwa begitu luasnya Ilmu Allah, sebab Allah Maha Mengetahui)
·          Dengan pengetahuan ini dan menjadikannya sebagai bagian ideologi Islam akan mendorong kaum muslimin untuk bangkit dan maju pesat, kembali menegakkan Kalimah Allah di muka bumi.

Penjelasan TQQ adalah sebagai berikut.

Muqaddimah


Iman kepada taqdir merupakan sesuatu yang wajib bagi setiap muslim, sebab hal ini memiliki sandaran nash-nash Alqur’an yang pasti (qoth’i) serta dijelaskan oleh Rasulullah saw dalam sunnahnya. Berbeda dengan iman kepada qadha dan qadar, ia bukan lahir dari nash-nash syara’ secara langsung. Istilah qadha dan qadar, sebagai istilah tertentu dan bermakna tertentu pula, tidak didapatkan dalam Alqur’an dan Assunnah. Jika kita kaji Alqur’an dan Assunnah, masalah ini (Qadha dan Qadar) tidak akan kita temukan. Yang kita temukan adalah pembahasan tentang taqdir (atau al Qadar yang bermakna taqdir).

Tiadanya pembahasan qadha dan qadar (yang digabungkan dan memiliki makna tertentu) tersebut, karena masalah ini baru muncul pada masa tabi’in (setelah masa sahabat), pada akhir abad pertama Hijriyah (awal abad Kedua H). Ketika muslimin bersentuhan dengan filsafat Yunani.


Taqdir & Pengertian Iman Kepadanya


Seorang muslim beriman bahwa semua kejadian/keadaan di dunia ini pasti diketahui oleh Allah SWT (Al Aliim); baik yang lalu, sedang maupun akan terjadi. Semuanya telah tertulis di Lauhul Mahfuzh (kitab induk, menggambarkan luasnya Ilmu Allah SWT). Ini pengertian yang bisa kita peroleh Alqur’an dan Hadits Rosulullah saw.

Dengan kata lain taqdir : catatan (ilmu Allah) yang menyeluruh dan meliputi segala sesuatu.

Bagaimana sikap seorang muslim terhadap taqdir ini ? Mengimaninya adalah kewajiban (iman kepada taqdir adalah bagian dari rukun iman). Imam Muslim meriwayatkan Umar ibn Khathab : ketika itu Malaikat Jibril datang kepada Nabi saw dan bertanya :
“Coba ceritakan apa iman itu ? Lalu Rosulullah menjawab : Iman itu percaya kepada adanya Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari kiamat dan percaya kepada taqdir baik dan buruknya berasal dari Allah (Al qadari khoiru wa syarih).”

Dari hadits ini sering kita mengartikan bahwa taqdir yang baik : Qadha dan yang buruk Qadar. Ini Salah juga. Qadar di sini adalah taqdir (Qadar yang bermakna taqdir).

Seorang muslim yang tidak percaya masalah taqdir, maka imannya cacat bahkan dapat mengeluarkannya dari Islam, karena Alqur’an dan Hadits telah tegas, seperti ayat :
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut taqdirnya/ukurannya” (QS. Al Qamar:49)

Dalam Tafsir Al Qurthuby, ayat ini ditafsirkan :
“Kepercayaan yang dipegang oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah bahwa Allah SWT telah mentaqdirkan segala sesuatu. Artinya Dia telah mengetahui ukuran, kondisi, peraturan dan waktunya, jauh sebelum sesuatu itu terjadi. Oleh karena itu tidak ada sesuatu kejadian di langit dan di bumi kecuali seluruhnya muncul dari ilmu, qudrah (kekuasaan) dan iradah (kehendak) Allah SWT.”

Makna semua ini adalah Allah telah mengetahui segala sesuatu, termauk nasib, rezeki, sukses, kaya atau miskin dsb.

Yang harus kita fahami, masalah taqdir hanya membahas tentang kekuasaan Allah SWT. Taqdir merupakan Ilmu Allah dan kekhususan bagi-Nya (Ilmu Allah atas segala sesuatu) dan mustahil ada sesuatu yang tidak diketahui-Nya.

Kewajiban iman kepada taqdir bisa dan larangan mengingkarinya ditunjukkan oleh hadits berikut :
“Bagi setiap umat akan muncul segolongan manusia yang berperilaku seperti majusi. Orang majusi mengatakan bahwa tidak ada taqdir. Jika di anatara mereka ada yang meninggal, jangan hadiri jenazahnya. Jika mereka sakit jangan dijenguk, (sebab) mereka adalah (sama dengan) golongan dajjal. Memang pantas ketentuan tersebut, yaitu menghubungkan perilaku mereka yang mirip dengan dajjal, adalah ketentuan yang haq dari Allah SWT.” (HR.Abu Dawud daru Hudzaifah)

Meskipun kita beriman kepada taqdir, jangan mencampuradukkan antara “iman kepada taqdir” dengan “amal perbuatan manusia”, karena tidak ada hubungannya sama sekali. Dalam arti Ilmu Allah (Taqdir) tidak pernah memaksa manusia untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Harus difahami ada perbedaan antara : Apa-apa yang harud diyakini dengan apa-apa yang harus dikerjakan. Ini dijelaskan dalam sebuah hadits dari Ali bin Abi Thalib ra. (Syarah Shohih Muslim, Imam Nawawi) :
“ ... Setiap kalian yang bernyawa telah ditetapkan tempatnya di Jannah dan Jahannam. Para Sahabat terkejut dan berkata : Kalau begitu buat apa kita beramal ? Apakah tidak lebih baik kita bertawakkal saja (kepada taqdir) ? Beliau menjawab : Jangan ! tetap beramal, setiap orang akan dimudahkan oleh Allah jalan yang sudah ditentukan bagiNya. Lalu Rosulullah membaca QS. Al-Lail ayat 5-10.”

Islam mengajarkan bahwa manusia diciptakan dengan bekal akal, kekuatan, persiapan tenaga dan ilmu agar ia mampu membedakan mana yang salah dan mana yang benar sebagai stndar perbuatannya.

Tak ada manusia yang mengetahui apa yang tertulis bagi dirinya di Lauhul Mahfuzh. Jika ada yang mengatakan : “Saya berbuat begini karena telah dituliskan oleh Allah SWT di Lauhul Mahfuzh harus berbuat begini”, darimana dia tahu bahwa Allah menuliskan perbuatan tersebut baginya di Lauhul Mahfuzh ?

Sebagai kesimpulan (nukilan dari Imam Al Khattabi dalam Aqidah Islam, Sayyid Sabiq):

Manusia secara sukarela memilih suatu kehendaknya sendiri. Taqdir hanyalah pemberitahuan tentang ilmu Allah yang sangat luas, meliputi segala sesuatu dan Ilmu Allah itu tidak pernah memaksa seseorang untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.

Sesungguhnya beriman kepada taqdir dalam pemahaman yang benar akan memberi semangat juang yang luar biasa dalam berusaha meraih kebaikan, baik di dunia maupun di akhirat. Ketabahan dan keberanian akan terbentuk dalam menegakkan yang haq. Dia akan bersyukur ketika berhasil dan sabar dan tetap berusaha ketika gagal.


Qadha dan Qadar, Pengertian Iman terhadap Keduanya


Asal Mula Istilah QQ


Ketika Khilafah Islamiyah mulai bersentuhan dengan filsafat Yunani (faham di luar Islam), kaum mulimin mulai mengkaji filsafat Yunani. Awalnya hanya menjadi kebutuhan untuk menjawab tantangan orang-orang Nasrani, yang telah lebih dulu mempelajarinya tnuk mempertahankan aqidah mereka.

Kaum muslimin mendalami filsafat untuk membantah masalah-masalah yang dilontarkan oleh Nasrani, terutama dalam bidang kebebasan bertindak (Free Will).

Dalam filsafat Yunani terdapat dua golongan yang mengartikan kebebasan bertindak ini, yaitu Epikure, yang mengartikan kebebasan secara mutlak (serba boleh) dan golongan Skeptisme/Stoaisme yang mengartikan tidak adanya kebebasan (serba menyerah). Golongan terkahir sering disebut Fatalisme.

Setelah pasukan jihad kaum muslimin selesai melakukan penaklukan, baru mereka memiliki waktu luang untuk berpikir. Saat itulah muncul permasalahan QQ, yang telah lama menjadi bahan pembahasan filosof Yunani. QQ juga dikutip dan menjadi pemahaman kalangan Nasrani dari sekte Surianis. Juga menjadi pembahasan di kalangan penyembah api (Zarasustra).


Faham Qadariyah (Muktazilah)

(As Sajadah 17 ; Al Kahfi 29)
Golongan ini muncul setelah terdapat persinggungan antara Islam dan peradaban non Islam. Golongan ini mengatakan bahwa manusia bebas berkehendak. Dengan kata lain manusia memiliki kemampuan (qadar)untuk berusaha sendiri, yang akhirnya disebut Qadariyah. Mereka menolak pengaturan untuk segala sesuatunya sesuai dengan taqdir (Al Qadar) maupun ketetapan Allah. Faham ini dikembangkan oleh Washil bin Atha’.

Golongan ini memandang manusia sesungguhnya menciptakan segala perbuatannya dengan ikhtiar dan kudratnya sendiri dan bebas memilih. Jika ia mau, ia kerjakan, jika tidak ia tinggalkan. Iradat dan kudrat-Nya tidak turut campur dalam perbuatan manusia.

Untuk lebih jelas tentang Golongan Muktazilah ini, Sahabat bisa membaca beberapa tulisan tentang filsafat Islam (Teologi Islam/Ilmu Kalam) dari berbagai penulis Islam.

Yang penting adalah, faham ini telah kembali dihembuskan oleh Barat ke dalam pikiran kaum muslimin melalui mereka yang menyebut/disebut dirinya sebagai cendekiawan muslim. Yang lebih jauh nantinya, akan dipisahkannya agama dari kehidupan manusia.

Sebagai referensi tambahan, bisa Sahabat baca di Dialog Jum’at Harian Republika 18 Juni 1999. Dalam Harian tersebut, para ulama disarankan untuk mempertimbangkan Free Will dalam diri manusia.


Faham Jabariyah


(Ali Imran 145 ; Al A’raa 34 ; At Taubah 51 ; Saba’ 3 ;     Al An’aam 60 ; An Nisaa’ 78 ; Ash Shfaat 96)

Faham ini bertolak belakang dengan faham muktazilah. Yang memelopori munculnya faham ini adalah Jahmu bin Sofwan. Ia berkata bahwa manusia tidak memiliki kekuasaan memilih, ia harus pasrah. Seperti penciptaan benda-benda di muka bumi, perbuatan manusia adalah salah satu yang diciptakan Allah yang harus dilakukan manusia.

Oleh karena itu, pahala dan siksa adalah hasil dari paksaan. Imam Sa’duddin At Taftazany (Al Aqa’id An Nasyafiyah) mengatakan bahwa golongan ini berpendapat manusia sekali-kali tidak menguasai dirinya dalam setiap perbuatan, baik ataupun jahat. Ia tidak beda dengan benda beku, yang berarti manusia adalah obyek (kehendak dari luar).

Faham ini, dari fakta yang bisa kita amati, sangat merasuk dan merusak pikiran sebagian kaum muslimin saat ini.


Faham Ahlussunnah wal Jama’ah


(Al Lail 5-10 ; Al Ahqaf 14 ; Al Kahfi 29)

Kemunculan dua faham di atas, mendorong ulama Ahlussunnah, seperti Abul Hasan Al Asy’ari dan Mansur Al Maturidy memberikan jawaban untuk membela aqidah umat Islam agar tidak tersesat oleh faham Muktazilah (Qadariyah) maupun Jabariyah. Faham ini berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak, berkuasa dan berpengetahuan, tetapi hanya sampai batas tertentu.

Dalam buku Manhaj dan Akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah : Menurut Pemahaman Ulama Salaf, Muhammad Abdul Hadi Al Mishri (Gema Insani Press) menyatakan bahwa keimanan terhadap taqdir (qadar) Allah ada dua tingkatan, yang masing-masing mencakup dua hal :
Tingkat Pertama
- Beriman bahwa Allah mengetahui semua perbuatan manusia berdasarkan ilmunya dan seluruh keadaan mereka.
- Allah telah menetapkan semua itu di dalam Lauhul Mahfuzh.
Taqdir inilah yang diingkari oleh Qadariyah secara keterlaluan di masa lalu, dan sedikit di masa mendatang.

Tingkat Kedua
- Semua yang terjadi merupakan kehendak Allah SWT. Tiada Pencipta melainkan Allah. Tiada Tuhan selain Allah.
- Meskipun demikian, Allah telah memerintahkan hambaNya untuk mentaatiNya dan mentaati RasulNya, serta mencegah mereka dari perbuatan maksiat. Para hamba adalah pelaku sebenarnya, sedangkan Allah yang menciptakan perbuatan mereka, kemauan mereka serta kemampuan mereka.

Perbedaan Ahlussunnah dengan Qadariyah adalah faham Qadariyah mengingkari taqdir Allah, sehingga Allah tidak ada peran sedikitpun di dalam ikhtiariyah manusia.

Perbedaan Ahlussunnah dengan Jabariyah adalah faham Jabariyah mengingkari adanya ikhtiariyah manusia, sehingga manusia hanyalah obyek ciptaan Allah.

Ahlussunnah berpendapat bahwa manusia dihisab atas dasar kasb ikhtiari di dalam perbuatan. Kasb Ihktiari artinya tatkala manusia hendak berbuat sesuatu, Allah menciptakan amal perbuatan tsb.


BAGAIMANA MENYIKAPI BERBAGAI FAHAM INI ?


Kaum muslimin terpecah ke dalam tiga golongan besar ketika membahas amal/perbuatan manusia terkait dengan asas taklif, pahala dan siksa. Satu mengingkari taqdir/peran Allah, satu lagi mengingkari peran ikhtiar manusia dan satu lagi berada di tengah-tengah.

Perlu dicari terlebih dahulu dasar pembahasan masalah QQ.
Sesungguhnya dasar tersebut bukanlah menyangkut perbuatan manusia dilihat apakah diciptakan Allah atau oleh dirinya sendiri, seperti yang telah disebutkan dalam pembahasan Taqdir.

Juga tidak menyangkut ilmu Allah SWT, dilihat dari kenyataan bahwa Allah SWT mengetahui apa yang akan dilakukan hambaNya, dimana ilmuNya meliputi segala perbuatan hamba.

Tidak pula terkait dengan Iradah Allah, yang IradahNya dikatakan berkaitan erat dengan perbuatan hamba, sehingga perbuatan tadi harus terjadi dengan Iradah tadi.

Juga tidak berhubungan dengan status perbuatan hamba yang sudah tertulis dalam Luhul Mahfuzh, sehingga tidak boleh tidak ia harus melakukannya sesuai dengan apa yang tertulis sesuai dengan apa yang tertulis di dalamnya.

Masalah-masalah tersebut hanya berkaitan dengan penciptaan, Ilmu Allah yang sanggup meliputi segala sesuatu. Semua itu pembahasan yang lain , yang terpisah dari pembahasan pahala dan siksa atas perbuatan manusia.

Untuk masalah ciptaan, maka semuanya ciptaan Allah termasuk perbuatan manusia, namun ini bukanlah dasar pembahasan QQ.

Itu semua pembahasan lain yang terpisah dari dasar pembahasan Qadla dan Qadar. Dasar pembahasan QQ adalah adanya paksaan atau kesukarelaan manusia untuk berbuat serta pahala dan siksa atas perbuatan manusia.

Jika kita teliti, maka perbuatan manusia adalah sesuatu yang bisa diindera, maka pembahasannya pun melalui dalil aqli.

Di bawah ini dijelaskan Qadla’ dan Qadar


Hakikat Perbuatan Manusia dan Kejadian yang Menimpanya


Jika kita teliti kehidupan manusia, maka manusia hidup dalam dua wilayah kegiatan, yaitu :

- Wilayah yang dikuasai manusia

Wilayah yang berada di bawah batas tingkah lakunya dan di dalamnya terjadi perbuatan-perbuatan yang timbul akibat semata-mata pilihannya.

- Wilayah yang menguasai manusia

Dalam wilayah kedua ini, terjadi perbuatan atau kejadian dimana manusia tidak memiliki peran sedikitpun. Manusia dipaksa menerimanya, baik perbuatan dan kejadian tersebut muncul dari dirinya maupun yang menimpanya.

Perbuatan dalam wilayah pertama mudah diketahui, seperti kita mau duduk, makan, minum, berbakti atau durhaka kepada manusia. Seluruh perbuatan dalam wilayah ini atas kesadaran dan kesukarelaan manusia tanpa paksaan dari pihak manapun.

Perbuatan dalam wilayah kedua bisa dibagi menjadi dua bentuk, yaitu :

Yang ditentukan oleh nidhom wujud (sunatullah/peraturan alam). Wilayah ini memaksa manusia untuk menerima apa yang telah ditetapkan, karena kejadian-kejadian dalam wilayah ini muncul tanpa kehendak manusia. Disini manusia diatur, tidak bebas memilih. Misalnya ia datang ke dunia dan meninggalkannya tanpa kemauannya. Ia tidak dapat terbang hanya dengan tubuhnya dll. Yang menciptakan semua ini adalah Allah SWT.

Yang tidak ditentukan nidhom wujud, namun tetap di luar kekuasaan manusia. Misalnya sebuah pesawat jatuh dan menewaskan penumpangnya, akibat kecelakaan yang mendadak. Disini tidak terdapat nidhom wujud, namun tanpa kehendak manusia kejadian tersebut terjadi.

Kedua bentuk kejadian tersebut adalah wilayah yang menguasai manusia. Itulah yang disebut qadla’ (keputusan) Allah. Sebab Allahlah yang memutuskan (mengqadla’).

Terlepas apakah itu baik atau buruk menurut penafsiran manusia, yang jelas bukan karena hari apes, memakai jimat/mantra dsb. Semuanya diputuskan Allah untuk menimpa kita.

Oleh karena itu, seorang hamba tidak akan dihisab atas terjadinya kejadian-kejadian ini. Manusia hanya diwajibkan mengimani akan adanya qadla’ dan bahwasannya qadla’ datang dari Allah SWT bukan dari yang lain.

Itulah pengertian qadla’ dalam pengertian QQ (yang digabung).


Penjelasan Qadar


Semua kejadian baik di dalam maupun di luar peran manusia terjadi dari benda atau menimpa/terhadap benda, baik benda itu, alam semesta, manusia maupun kehidupan.

Sesungguhnya Allah SWT telah menciptakan karakteristik/ khasiat (sifat-sifat) tertentu pada setiap benda. Misalnya api bersifat membakar, dalam kayu bersifat terbakar. Semua khasiat tersebut telah tunduk sesuai dengan nidhom wujud yang tidak bisa dilanggar lagi. Khasiat ini bisa hilang (melanggar nidhom wujud), jika Allah mencabutnya. Seperti dalam mukjizat Nabi.

Seperti pada benda, pada diri manusia juga diciptakan khasiat-khasiat : kebutuhan jasmani (hajat ‘udlawiyah) dan kebutuhan naluri (gharizah/instink).

Pada gharizah melanjutkan keturunan (gharizatun nau’)terdapat khasiat berupa dorongan seksual. Kebutuhan jasmani diciptakan lapar, haus dsb.

Seluruh khasiat tersebut adalah yang disebut QADAR (penetapan).  Dalam masalah ini manusia tidak memiliki andil apapun. Ia hanya diwajibkan mengimani bahwa yang menetapkan khasiat-khasiat dalam benda-benda tersebut adalah Allah SWT.


Amal Manusia yang Dihisab


Dalam wilayah kedua manusia tidak dihisab Allah. Namun untuk wilayah pertama (lingkaran yang dikuasai manusia), manusia akan memanfaatkan khasiat-khasiat benda untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan gharizahnya dan akan dihisab karena penggunaan khasiat-khasiat tersebut.

Contoh kasus : Api berkhasiat membakar. Namun ketika terjadi pembakaran rumah ibadah, kita tidak bisa menyalahkan api itu dengan mengatakan yang membakar api itu. Manusialah yang memanfaatkan khasiat api untuk membakar rumah.

Seluruh Gharizah dan Kebutuhan Jasmani memiliki qabiliyyah (tendensi/kecenderungan) untuk digunakan manusia dalam berbuat suatu amal perbuatan. Apakah perbuatan baik atau buruk. Apabila digunakan sesuai dengan perintah Allah, maka perbuatan itu berupa kebaikan. Sedangkan jika digunakan untuk melanggar aturan Allah berarti ia telah berbuat jahat. Baik ia menggunakan khasiat pada benda maupun pada pemenuhan kebutuhan jasmani maupun gharizahnya.

Hal ini karena Allah telah menciptakan akal bagi manusia, yang mampu membedakan. Di dalam tabiat akal ini diciptakan kemampuan memahami serta membedakan mana yang baik dan buruk. Sebagaimana :

Dan ia pun memberinya ilham akan mana yang baik dan mana yang taqwa (QS. Asy Syams 8)

Di sisi lain Allah telah menunjukkan kepada manusia jalan yang baik dan yang buruk, sebagaimana :

Telah Kami tunjukkan padanya dua jalan (QS. Al Balad 10)

Gharizah dan kebutuhan jasmani manusia memang memiliki kecenderungan yang baik ataupun buruk di dalam memanfaatkan khasiat benda, yang kesemuanya diciptakan Allah, namun kesemuanya tidak diciptakan dalam bentuk yang memaksa manusia untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan. Melainkan khasiat tersebut dijadikan Allah bermanfaat jika digunakan oleh manusia dalam bentuk yang tepat.

Jadi manusia bebas untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan dengan menggunakan akalnya yang mampu membeda-bedakan. Dijadikannya akal sebagai (manath) pembebanan kewajiban syari’at. Pahala Allah bagi yang menggunakan akalnya untuk memilih melaksanakan perbuatan yang baik dan siksa bagi yang menggunakan akalnya untuk memilih melaksanakan pelanggaran syari’at Allah.

Oleh karena itu manusia bertanggung jawab penuh atas perbuatannya, sebagaimana :

Setiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya (QS> Al Mudatsir 38)

Adapun mengenai ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu, ilmu tersebut tidak memaksa si hamba untuk melakukan perbuatan sebabab Allah mengetahui bahwa hamba akan melakukan perbuatan secara sukarela. Dan perbuatan tsb. bukan berdasarkan ilmu Allah, melainkan sudah menjadi ilmu Allah yang azali. Tulisan di Lauhul Mahfuzh, sekali lagi adalah perlambang (ta’bir) betapa luasnya ilmu Allah atas segala sesuatu.

Demikian pula dengan Iradah Allah. Ia tidak memaksa manusia untuk melakukan suatu perbuatan baik buruk atau baik. Perbuatan buruk tidak berarti melawan kehendakNya. Oleh karena itu setiap perbuatan hamba, pada hakekatnya adalah atas kehendakNya, namun sekali lagi perbuatan tsb. adalah pilihan sukarela hamba.


Khatimah


Itulah masalah Qadla’ dan Qadar. Masalah ini mendorong manusia untuk melakukan kebaikan dan menjauhi kejahatan, jika ia menyadari Allah senantiasa mengawasi serta akan menghisabnya. Oleh karena itu, seorang muslim sejati yang memahami hakekat qadla’ dan qadar, hakekat nikmat akal dan nikmat hak pilih akan bersikap hati-hati dan takut (wara’) kepada Allah. Senantiasa berbuat amal kebajikan, berusaha menegakkan Kalimah Allah, takut akan siksa Allah dan rindu akan surga dan yang lebih besar dari surga adalah keridlaan Allah Subhanahu wa ta‘Ala.

Wallahu ’alam bi ash showab

Ya Allah kami sampaikan, Ya Allah saksikanlah.

Saya sarankan Rekan-Rekan TIM-IF mempelajari proses keimanan terlebih dahulu, namun tulisan di atas tidak menutup kemungkinan untuk dibaca. Satu hal yang terkait dengan erat dengan masalah Qadla’ dan Qadar adalah HUKUM ASAL PERBUATAN MANUSIA YAITU TERIKAT DENGAN HUKUM SYARA’. Insya Allah akan berlanjut.

Sumber Rujukan
1.     Al Qur’anul Karim
2.     Nidhom Al Islam, Taqiyuddin An Nabhani
3.     Al Fikru Al Islamy (Bunga Rampai Pemikiran Islam), Muhammad Ismail
4.     Aqidah Islam, Sayyid Sabiq
5.     Manhaj dan Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah, Muhammad Abdul Hadi Al Mishri



Bandung, 20 Juni 1999/
*******************************************************
Singgih Saptadi
Lembaga Pengkajian Islam Strategis (LPIS)
Bandung

LPIS membuka diri bagi Anda yang ingin mendiskusikan/mempunyai pertanyaan seputar kondisi kaum muslimin saat ini.

 Bismillah Ar Rohmaan Ar Rahiim


Taqdir serta Qadha dan Qadar (T-Q-Q)


Inti dari pembahasan TQQ sbb. :
·          Pembahasan taqdir harus dipisahkan dari Pembahasan Ikhtiariah (Usaha) manusia.
·          Hasil ikhtiariah (Usaha) merupakan taqdir yang sudah ditentukan oleh Allah (INGAT perlambang bahwa begitu luasnya Ilmu Allah, sebab Allah Maha Mengetahui)
·          Dengan pengetahuan ini dan menjadikannya sebagai bagian ideologi Islam akan mendorong kaum muslimin untuk bangkit dan maju pesat, kembali menegakkan Kalimah Allah di muka bumi.

Penjelasan TQQ adalah sebagai berikut.

Muqaddimah


Iman kepada taqdir merupakan sesuatu yang wajib bagi setiap muslim, sebab hal ini memiliki sandaran nash-nash Alqur’an yang pasti (qoth’i) serta dijelaskan oleh Rasulullah saw dalam sunnahnya. Berbeda dengan iman kepada qadha dan qadar, ia bukan lahir dari nash-nash syara’ secara langsung. Istilah qadha dan qadar, sebagai istilah tertentu dan bermakna tertentu pula, tidak didapatkan dalam Alqur’an dan Assunnah. Jika kita kaji Alqur’an dan Assunnah, masalah ini (Qadha dan Qadar) tidak akan kita temukan. Yang kita temukan adalah pembahasan tentang taqdir (atau al Qadar yang bermakna taqdir).

Tiadanya pembahasan qadha dan qadar (yang digabungkan dan memiliki makna tertentu) tersebut, karena masalah ini baru muncul pada masa tabi’in (setelah masa sahabat), pada akhir abad pertama Hijriyah (awal abad Kedua H). Ketika muslimin bersentuhan dengan filsafat Yunani.


Taqdir & Pengertian Iman Kepadanya


Seorang muslim beriman bahwa semua kejadian/keadaan di dunia ini pasti diketahui oleh Allah SWT (Al Aliim); baik yang lalu, sedang maupun akan terjadi. Semuanya telah tertulis di Lauhul Mahfuzh (kitab induk, menggambarkan luasnya Ilmu Allah SWT). Ini pengertian yang bisa kita peroleh Alqur’an dan Hadits Rosulullah saw.

Dengan kata lain taqdir : catatan (ilmu Allah) yang menyeluruh dan meliputi segala sesuatu.

Bagaimana sikap seorang muslim terhadap taqdir ini ? Mengimaninya adalah kewajiban (iman kepada taqdir adalah bagian dari rukun iman). Imam Muslim meriwayatkan Umar ibn Khathab : ketika itu Malaikat Jibril datang kepada Nabi saw dan bertanya :
“Coba ceritakan apa iman itu ? Lalu Rosulullah menjawab : Iman itu percaya kepada adanya Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari kiamat dan percaya kepada taqdir baik dan buruknya berasal dari Allah (Al qadari khoiru wa syarih).”

Dari hadits ini sering kita mengartikan bahwa taqdir yang baik : Qadha dan yang buruk Qadar. Ini Salah juga. Qadar di sini adalah taqdir (Qadar yang bermakna taqdir).

Seorang muslim yang tidak percaya masalah taqdir, maka imannya cacat bahkan dapat mengeluarkannya dari Islam, karena Alqur’an dan Hadits telah tegas, seperti ayat :
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut taqdirnya/ukurannya” (QS. Al Qamar:49)

Dalam Tafsir Al Qurthuby, ayat ini ditafsirkan :
“Kepercayaan yang dipegang oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah bahwa Allah SWT telah mentaqdirkan segala sesuatu. Artinya Dia telah mengetahui ukuran, kondisi, peraturan dan waktunya, jauh sebelum sesuatu itu terjadi. Oleh karena itu tidak ada sesuatu kejadian di langit dan di bumi kecuali seluruhnya muncul dari ilmu, qudrah (kekuasaan) dan iradah (kehendak) Allah SWT.”

Makna semua ini adalah Allah telah mengetahui segala sesuatu, termauk nasib, rezeki, sukses, kaya atau miskin dsb.

Yang harus kita fahami, masalah taqdir hanya membahas tentang kekuasaan Allah SWT. Taqdir merupakan Ilmu Allah dan kekhususan bagi-Nya (Ilmu Allah atas segala sesuatu) dan mustahil ada sesuatu yang tidak diketahui-Nya.

Kewajiban iman kepada taqdir bisa dan larangan mengingkarinya ditunjukkan oleh hadits berikut :
“Bagi setiap umat akan muncul segolongan manusia yang berperilaku seperti majusi. Orang majusi mengatakan bahwa tidak ada taqdir. Jika di anatara mereka ada yang meninggal, jangan hadiri jenazahnya. Jika mereka sakit jangan dijenguk, (sebab) mereka adalah (sama dengan) golongan dajjal. Memang pantas ketentuan tersebut, yaitu menghubungkan perilaku mereka yang mirip dengan dajjal, adalah ketentuan yang haq dari Allah SWT.” (HR.Abu Dawud daru Hudzaifah)

Meskipun kita beriman kepada taqdir, jangan mencampuradukkan antara “iman kepada taqdir” dengan “amal perbuatan manusia”, karena tidak ada hubungannya sama sekali. Dalam arti Ilmu Allah (Taqdir) tidak pernah memaksa manusia untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Harus difahami ada perbedaan antara : Apa-apa yang harud diyakini dengan apa-apa yang harus dikerjakan. Ini dijelaskan dalam sebuah hadits dari Ali bin Abi Thalib ra. (Syarah Shohih Muslim, Imam Nawawi) :
“ ... Setiap kalian yang bernyawa telah ditetapkan tempatnya di Jannah dan Jahannam. Para Sahabat terkejut dan berkata : Kalau begitu buat apa kita beramal ? Apakah tidak lebih baik kita bertawakkal saja (kepada taqdir) ? Beliau menjawab : Jangan ! tetap beramal, setiap orang akan dimudahkan oleh Allah jalan yang sudah ditentukan bagiNya. Lalu Rosulullah membaca QS. Al-Lail ayat 5-10.”

Islam mengajarkan bahwa manusia diciptakan dengan bekal akal, kekuatan, persiapan tenaga dan ilmu agar ia mampu membedakan mana yang salah dan mana yang benar sebagai stndar perbuatannya.

Tak ada manusia yang mengetahui apa yang tertulis bagi dirinya di Lauhul Mahfuzh. Jika ada yang mengatakan : “Saya berbuat begini karena telah dituliskan oleh Allah SWT di Lauhul Mahfuzh harus berbuat begini”, darimana dia tahu bahwa Allah menuliskan perbuatan tersebut baginya di Lauhul Mahfuzh ?

Sebagai kesimpulan (nukilan dari Imam Al Khattabi dalam Aqidah Islam, Sayyid Sabiq):

Manusia secara sukarela memilih suatu kehendaknya sendiri. Taqdir hanyalah pemberitahuan tentang ilmu Allah yang sangat luas, meliputi segala sesuatu dan Ilmu Allah itu tidak pernah memaksa seseorang untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.

Sesungguhnya beriman kepada taqdir dalam pemahaman yang benar akan memberi semangat juang yang luar biasa dalam berusaha meraih kebaikan, baik di dunia maupun di akhirat. Ketabahan dan keberanian akan terbentuk dalam menegakkan yang haq. Dia akan bersyukur ketika berhasil dan sabar dan tetap berusaha ketika gagal.


Qadha dan Qadar, Pengertian Iman terhadap Keduanya


Asal Mula Istilah QQ


Ketika Khilafah Islamiyah mulai bersentuhan dengan filsafat Yunani (faham di luar Islam), kaum mulimin mulai mengkaji filsafat Yunani. Awalnya hanya menjadi kebutuhan untuk menjawab tantangan orang-orang Nasrani, yang telah lebih dulu mempelajarinya tnuk mempertahankan aqidah mereka.

Kaum muslimin mendalami filsafat untuk membantah masalah-masalah yang dilontarkan oleh Nasrani, terutama dalam bidang kebebasan bertindak (Free Will).

Dalam filsafat Yunani terdapat dua golongan yang mengartikan kebebasan bertindak ini, yaitu Epikure, yang mengartikan kebebasan secara mutlak (serba boleh) dan golongan Skeptisme/Stoaisme yang mengartikan tidak adanya kebebasan (serba menyerah). Golongan terkahir sering disebut Fatalisme.

Setelah pasukan jihad kaum muslimin selesai melakukan penaklukan, baru mereka memiliki waktu luang untuk berpikir. Saat itulah muncul permasalahan QQ, yang telah lama menjadi bahan pembahasan filosof Yunani. QQ juga dikutip dan menjadi pemahaman kalangan Nasrani dari sekte Surianis. Juga menjadi pembahasan di kalangan penyembah api (Zarasustra).


Faham Qadariyah (Muktazilah)

(As Sajadah 17 ; Al Kahfi 29)
Golongan ini muncul setelah terdapat persinggungan antara Islam dan peradaban non Islam. Golongan ini mengatakan bahwa manusia bebas berkehendak. Dengan kata lain manusia memiliki kemampuan (qadar)untuk berusaha sendiri, yang akhirnya disebut Qadariyah. Mereka menolak pengaturan untuk segala sesuatunya sesuai dengan taqdir (Al Qadar) maupun ketetapan Allah. Faham ini dikembangkan oleh Washil bin Atha’.

Golongan ini memandang manusia sesungguhnya menciptakan segala perbuatannya dengan ikhtiar dan kudratnya sendiri dan bebas memilih. Jika ia mau, ia kerjakan, jika tidak ia tinggalkan. Iradat dan kudrat-Nya tidak turut campur dalam perbuatan manusia.

Untuk lebih jelas tentang Golongan Muktazilah ini, Sahabat bisa membaca beberapa tulisan tentang filsafat Islam (Teologi Islam/Ilmu Kalam) dari berbagai penulis Islam.

Yang penting adalah, faham ini telah kembali dihembuskan oleh Barat ke dalam pikiran kaum muslimin melalui mereka yang menyebut/disebut dirinya sebagai cendekiawan muslim. Yang lebih jauh nantinya, akan dipisahkannya agama dari kehidupan manusia.

Sebagai referensi tambahan, bisa Sahabat baca di Dialog Jum’at Harian Republika 18 Juni 1999. Dalam Harian tersebut, para ulama disarankan untuk mempertimbangkan Free Will dalam diri manusia.


Faham Jabariyah


(Ali Imran 145 ; Al A’raa 34 ; At Taubah 51 ; Saba’ 3 ;     Al An’aam 60 ; An Nisaa’ 78 ; Ash Shfaat 96)

Faham ini bertolak belakang dengan faham muktazilah. Yang memelopori munculnya faham ini adalah Jahmu bin Sofwan. Ia berkata bahwa manusia tidak memiliki kekuasaan memilih, ia harus pasrah. Seperti penciptaan benda-benda di muka bumi, perbuatan manusia adalah salah satu yang diciptakan Allah yang harus dilakukan manusia.

Oleh karena itu, pahala dan siksa adalah hasil dari paksaan. Imam Sa’duddin At Taftazany (Al Aqa’id An Nasyafiyah) mengatakan bahwa golongan ini berpendapat manusia sekali-kali tidak menguasai dirinya dalam setiap perbuatan, baik ataupun jahat. Ia tidak beda dengan benda beku, yang berarti manusia adalah obyek (kehendak dari luar).

Faham ini, dari fakta yang bisa kita amati, sangat merasuk dan merusak pikiran sebagian kaum muslimin saat ini.


Faham Ahlussunnah wal Jama’ah


(Al Lail 5-10 ; Al Ahqaf 14 ; Al Kahfi 29)

Kemunculan dua faham di atas, mendorong ulama Ahlussunnah, seperti Abul Hasan Al Asy’ari dan Mansur Al Maturidy memberikan jawaban untuk membela aqidah umat Islam agar tidak tersesat oleh faham Muktazilah (Qadariyah) maupun Jabariyah. Faham ini berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak, berkuasa dan berpengetahuan, tetapi hanya sampai batas tertentu.

Dalam buku Manhaj dan Akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah : Menurut Pemahaman Ulama Salaf, Muhammad Abdul Hadi Al Mishri (Gema Insani Press) menyatakan bahwa keimanan terhadap taqdir (qadar) Allah ada dua tingkatan, yang masing-masing mencakup dua hal :
Tingkat Pertama
- Beriman bahwa Allah mengetahui semua perbuatan manusia berdasarkan ilmunya dan seluruh keadaan mereka.
- Allah telah menetapkan semua itu di dalam Lauhul Mahfuzh.
Taqdir inilah yang diingkari oleh Qadariyah secara keterlaluan di masa lalu, dan sedikit di masa mendatang.

Tingkat Kedua
- Semua yang terjadi merupakan kehendak Allah SWT. Tiada Pencipta melainkan Allah. Tiada Tuhan selain Allah.
- Meskipun demikian, Allah telah memerintahkan hambaNya untuk mentaatiNya dan mentaati RasulNya, serta mencegah mereka dari perbuatan maksiat. Para hamba adalah pelaku sebenarnya, sedangkan Allah yang menciptakan perbuatan mereka, kemauan mereka serta kemampuan mereka.

Perbedaan Ahlussunnah dengan Qadariyah adalah faham Qadariyah mengingkari taqdir Allah, sehingga Allah tidak ada peran sedikitpun di dalam ikhtiariyah manusia.

Perbedaan Ahlussunnah dengan Jabariyah adalah faham Jabariyah mengingkari adanya ikhtiariyah manusia, sehingga manusia hanyalah obyek ciptaan Allah.

Ahlussunnah berpendapat bahwa manusia dihisab atas dasar kasb ikhtiari di dalam perbuatan. Kasb Ihktiari artinya tatkala manusia hendak berbuat sesuatu, Allah menciptakan amal perbuatan tsb.


BAGAIMANA MENYIKAPI BERBAGAI FAHAM INI ?


Kaum muslimin terpecah ke dalam tiga golongan besar ketika membahas amal/perbuatan manusia terkait dengan asas taklif, pahala dan siksa. Satu mengingkari taqdir/peran Allah, satu lagi mengingkari peran ikhtiar manusia dan satu lagi berada di tengah-tengah.

Perlu dicari terlebih dahulu dasar pembahasan masalah QQ.
Sesungguhnya dasar tersebut bukanlah menyangkut perbuatan manusia dilihat apakah diciptakan Allah atau oleh dirinya sendiri, seperti yang telah disebutkan dalam pembahasan Taqdir.

Juga tidak menyangkut ilmu Allah SWT, dilihat dari kenyataan bahwa Allah SWT mengetahui apa yang akan dilakukan hambaNya, dimana ilmuNya meliputi segala perbuatan hamba.

Tidak pula terkait dengan Iradah Allah, yang IradahNya dikatakan berkaitan erat dengan perbuatan hamba, sehingga perbuatan tadi harus terjadi dengan Iradah tadi.

Juga tidak berhubungan dengan status perbuatan hamba yang sudah tertulis dalam Luhul Mahfuzh, sehingga tidak boleh tidak ia harus melakukannya sesuai dengan apa yang tertulis sesuai dengan apa yang tertulis di dalamnya.

Masalah-masalah tersebut hanya berkaitan dengan penciptaan, Ilmu Allah yang sanggup meliputi segala sesuatu. Semua itu pembahasan yang lain , yang terpisah dari pembahasan pahala dan siksa atas perbuatan manusia.

Untuk masalah ciptaan, maka semuanya ciptaan Allah termasuk perbuatan manusia, namun ini bukanlah dasar pembahasan QQ.

Itu semua pembahasan lain yang terpisah dari dasar pembahasan Qadla dan Qadar. Dasar pembahasan QQ adalah adanya paksaan atau kesukarelaan manusia untuk berbuat serta pahala dan siksa atas perbuatan manusia.

Jika kita teliti, maka perbuatan manusia adalah sesuatu yang bisa diindera, maka pembahasannya pun melalui dalil aqli.

Di bawah ini dijelaskan Qadla’ dan Qadar


Hakikat Perbuatan Manusia dan Kejadian yang Menimpanya


Jika kita teliti kehidupan manusia, maka manusia hidup dalam dua wilayah kegiatan, yaitu :

- Wilayah yang dikuasai manusia

Wilayah yang berada di bawah batas tingkah lakunya dan di dalamnya terjadi perbuatan-perbuatan yang timbul akibat semata-mata pilihannya.

- Wilayah yang menguasai manusia

Dalam wilayah kedua ini, terjadi perbuatan atau kejadian dimana manusia tidak memiliki peran sedikitpun. Manusia dipaksa menerimanya, baik perbuatan dan kejadian tersebut muncul dari dirinya maupun yang menimpanya.

Perbuatan dalam wilayah pertama mudah diketahui, seperti kita mau duduk, makan, minum, berbakti atau durhaka kepada manusia. Seluruh perbuatan dalam wilayah ini atas kesadaran dan kesukarelaan manusia tanpa paksaan dari pihak manapun.

Perbuatan dalam wilayah kedua bisa dibagi menjadi dua bentuk, yaitu :

Yang ditentukan oleh nidhom wujud (sunatullah/peraturan alam). Wilayah ini memaksa manusia untuk menerima apa yang telah ditetapkan, karena kejadian-kejadian dalam wilayah ini muncul tanpa kehendak manusia. Disini manusia diatur, tidak bebas memilih. Misalnya ia datang ke dunia dan meninggalkannya tanpa kemauannya. Ia tidak dapat terbang hanya dengan tubuhnya dll. Yang menciptakan semua ini adalah Allah SWT.

Yang tidak ditentukan nidhom wujud, namun tetap di luar kekuasaan manusia. Misalnya sebuah pesawat jatuh dan menewaskan penumpangnya, akibat kecelakaan yang mendadak. Disini tidak terdapat nidhom wujud, namun tanpa kehendak manusia kejadian tersebut terjadi.

Kedua bentuk kejadian tersebut adalah wilayah yang menguasai manusia. Itulah yang disebut qadla’ (keputusan) Allah. Sebab Allahlah yang memutuskan (mengqadla’).

Terlepas apakah itu baik atau buruk menurut penafsiran manusia, yang jelas bukan karena hari apes, memakai jimat/mantra dsb. Semuanya diputuskan Allah untuk menimpa kita.

Oleh karena itu, seorang hamba tidak akan dihisab atas terjadinya kejadian-kejadian ini. Manusia hanya diwajibkan mengimani akan adanya qadla’ dan bahwasannya qadla’ datang dari Allah SWT bukan dari yang lain.

Itulah pengertian qadla’ dalam pengertian QQ (yang digabung).


Penjelasan Qadar


Semua kejadian baik di dalam maupun di luar peran manusia terjadi dari benda atau menimpa/terhadap benda, baik benda itu, alam semesta, manusia maupun kehidupan.

Sesungguhnya Allah SWT telah menciptakan karakteristik/ khasiat (sifat-sifat) tertentu pada setiap benda. Misalnya api bersifat membakar, dalam kayu bersifat terbakar. Semua khasiat tersebut telah tunduk sesuai dengan nidhom wujud yang tidak bisa dilanggar lagi. Khasiat ini bisa hilang (melanggar nidhom wujud), jika Allah mencabutnya. Seperti dalam mukjizat Nabi.

Seperti pada benda, pada diri manusia juga diciptakan khasiat-khasiat : kebutuhan jasmani (hajat ‘udlawiyah) dan kebutuhan naluri (gharizah/instink).

Pada gharizah melanjutkan keturunan (gharizatun nau’)terdapat khasiat berupa dorongan seksual. Kebutuhan jasmani diciptakan lapar, haus dsb.

Seluruh khasiat tersebut adalah yang disebut QADAR (penetapan).  Dalam masalah ini manusia tidak memiliki andil apapun. Ia hanya diwajibkan mengimani bahwa yang menetapkan khasiat-khasiat dalam benda-benda tersebut adalah Allah SWT.


Amal Manusia yang Dihisab


Dalam wilayah kedua manusia tidak dihisab Allah. Namun untuk wilayah pertama (lingkaran yang dikuasai manusia), manusia akan memanfaatkan khasiat-khasiat benda untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan gharizahnya dan akan dihisab karena penggunaan khasiat-khasiat tersebut.

Contoh kasus : Api berkhasiat membakar. Namun ketika terjadi pembakaran rumah ibadah, kita tidak bisa menyalahkan api itu dengan mengatakan yang membakar api itu. Manusialah yang memanfaatkan khasiat api untuk membakar rumah.

Seluruh Gharizah dan Kebutuhan Jasmani memiliki qabiliyyah (tendensi/kecenderungan) untuk digunakan manusia dalam berbuat suatu amal perbuatan. Apakah perbuatan baik atau buruk. Apabila digunakan sesuai dengan perintah Allah, maka perbuatan itu berupa kebaikan. Sedangkan jika digunakan untuk melanggar aturan Allah berarti ia telah berbuat jahat. Baik ia menggunakan khasiat pada benda maupun pada pemenuhan kebutuhan jasmani maupun gharizahnya.

Hal ini karena Allah telah menciptakan akal bagi manusia, yang mampu membedakan. Di dalam tabiat akal ini diciptakan kemampuan memahami serta membedakan mana yang baik dan buruk. Sebagaimana :

Dan ia pun memberinya ilham akan mana yang baik dan mana yang taqwa (QS. Asy Syams 8)

Di sisi lain Allah telah menunjukkan kepada manusia jalan yang baik dan yang buruk, sebagaimana :

Telah Kami tunjukkan padanya dua jalan (QS. Al Balad 10)

Gharizah dan kebutuhan jasmani manusia memang memiliki kecenderungan yang baik ataupun buruk di dalam memanfaatkan khasiat benda, yang kesemuanya diciptakan Allah, namun kesemuanya tidak diciptakan dalam bentuk yang memaksa manusia untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan. Melainkan khasiat tersebut dijadikan Allah bermanfaat jika digunakan oleh manusia dalam bentuk yang tepat.

Jadi manusia bebas untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan dengan menggunakan akalnya yang mampu membeda-bedakan. Dijadikannya akal sebagai (manath) pembebanan kewajiban syari’at. Pahala Allah bagi yang menggunakan akalnya untuk memilih melaksanakan perbuatan yang baik dan siksa bagi yang menggunakan akalnya untuk memilih melaksanakan pelanggaran syari’at Allah.

Oleh karena itu manusia bertanggung jawab penuh atas perbuatannya, sebagaimana :

Setiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya (QS> Al Mudatsir 38)

Adapun mengenai ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu, ilmu tersebut tidak memaksa si hamba untuk melakukan perbuatan sebabab Allah mengetahui bahwa hamba akan melakukan perbuatan secara sukarela. Dan perbuatan tsb. bukan berdasarkan ilmu Allah, melainkan sudah menjadi ilmu Allah yang azali. Tulisan di Lauhul Mahfuzh, sekali lagi adalah perlambang (ta’bir) betapa luasnya ilmu Allah atas segala sesuatu.

Demikian pula dengan Iradah Allah. Ia tidak memaksa manusia untuk melakukan suatu perbuatan baik buruk atau baik. Perbuatan buruk tidak berarti melawan kehendakNya. Oleh karena itu setiap perbuatan hamba, pada hakekatnya adalah atas kehendakNya, namun sekali lagi perbuatan tsb. adalah pilihan sukarela hamba.


Khatimah


Itulah masalah Qadla’ dan Qadar. Masalah ini mendorong manusia untuk melakukan kebaikan dan menjauhi kejahatan, jika ia menyadari Allah senantiasa mengawasi serta akan menghisabnya. Oleh karena itu, seorang muslim sejati yang memahami hakekat qadla’ dan qadar, hakekat nikmat akal dan nikmat hak pilih akan bersikap hati-hati dan takut (wara’) kepada Allah. Senantiasa berbuat amal kebajikan, berusaha menegakkan Kalimah Allah, takut akan siksa Allah dan rindu akan surga dan yang lebih besar dari surga adalah keridlaan Allah Subhanahu wa ta‘Ala.

Wallahu ’alam bi ash showab

Ya Allah kami sampaikan, Ya Allah saksikanlah.

Saya sarankan Rekan-Rekan TIM-IF mempelajari proses keimanan terlebih dahulu, namun tulisan di atas tidak menutup kemungkinan untuk dibaca. Satu hal yang terkait dengan erat dengan masalah Qadla’ dan Qadar adalah HUKUM ASAL PERBUATAN MANUSIA YAITU TERIKAT DENGAN HUKUM SYARA’. Insya Allah akan berlanjut.

Sumber Rujukan
1.     Al Qur’anul Karim
2.     Nidhom Al Islam, Taqiyuddin An Nabhani
3.     Al Fikru Al Islamy (Bunga Rampai Pemikiran Islam), Muhammad Ismail
4.     Aqidah Islam, Sayyid Sabiq
5.     Manhaj dan Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah, Muhammad Abdul Hadi Al Mishri



Bandung, 20 Juni 1999/
*******************************************************
Singgih Saptadi
Lembaga Pengkajian Islam Strategis (LPIS)
Bandung

LPIS membuka diri bagi Anda yang ingin mendiskusikan/mempunyai pertanyaan seputar kondisi kaum muslimin saat ini.