Bismillah
Ar Rohmaan Ar Rahiim
Taqdir serta Qadha dan Qadar (T-Q-Q)
Inti dari pembahasan
TQQ sbb. :
·
Pembahasan
taqdir harus dipisahkan dari Pembahasan Ikhtiariah (Usaha) manusia.
·
Hasil
ikhtiariah (Usaha) merupakan taqdir yang sudah ditentukan oleh Allah (INGAT
perlambang bahwa begitu luasnya Ilmu Allah, sebab Allah Maha Mengetahui)
·
Dengan
pengetahuan ini dan menjadikannya sebagai bagian ideologi Islam akan mendorong
kaum muslimin untuk bangkit dan maju pesat, kembali menegakkan Kalimah Allah di
muka bumi.
Penjelasan TQQ adalah
sebagai berikut.
Muqaddimah
Iman kepada taqdir
merupakan sesuatu yang wajib bagi setiap muslim, sebab hal ini memiliki
sandaran nash-nash Alqur’an yang pasti (qoth’i) serta dijelaskan oleh
Rasulullah saw dalam sunnahnya. Berbeda dengan iman kepada qadha dan qadar, ia
bukan lahir dari nash-nash syara’ secara langsung. Istilah qadha dan qadar,
sebagai istilah tertentu dan bermakna tertentu pula, tidak didapatkan dalam
Alqur’an dan Assunnah. Jika kita kaji Alqur’an dan Assunnah, masalah ini (Qadha
dan Qadar) tidak akan kita temukan. Yang kita temukan adalah pembahasan tentang
taqdir (atau al Qadar yang bermakna taqdir).
Tiadanya pembahasan
qadha dan qadar (yang digabungkan dan memiliki makna tertentu) tersebut, karena
masalah ini baru muncul pada masa tabi’in (setelah masa sahabat), pada akhir
abad pertama Hijriyah (awal abad Kedua H). Ketika muslimin bersentuhan dengan
filsafat Yunani.
Taqdir
& Pengertian Iman Kepadanya
Seorang muslim beriman
bahwa semua kejadian/keadaan di dunia ini pasti diketahui oleh Allah SWT (Al
Aliim); baik yang lalu, sedang maupun akan terjadi. Semuanya telah tertulis di
Lauhul Mahfuzh (kitab induk, menggambarkan luasnya Ilmu Allah SWT). Ini
pengertian yang bisa kita peroleh Alqur’an dan Hadits Rosulullah saw.
Dengan kata lain
taqdir : catatan (ilmu Allah) yang menyeluruh dan meliputi segala sesuatu.
Bagaimana sikap
seorang muslim terhadap taqdir ini ? Mengimaninya adalah kewajiban (iman kepada
taqdir adalah bagian dari rukun iman). Imam Muslim meriwayatkan Umar ibn
Khathab : ketika itu Malaikat Jibril datang kepada Nabi saw dan bertanya :
“Coba
ceritakan apa iman itu ? Lalu Rosulullah menjawab : Iman itu percaya kepada
adanya Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari kiamat dan
percaya kepada taqdir baik dan buruknya berasal dari Allah (Al qadari khoiru wa
syarih).”
Dari hadits ini sering
kita mengartikan bahwa taqdir yang baik : Qadha dan yang buruk Qadar. Ini Salah
juga. Qadar di sini adalah taqdir (Qadar yang bermakna taqdir).
Seorang muslim yang
tidak percaya masalah taqdir, maka imannya cacat bahkan dapat mengeluarkannya
dari Islam, karena Alqur’an dan Hadits telah tegas, seperti ayat :
“Sesungguhnya
Kami menciptakan segala sesuatu menurut taqdirnya/ukurannya” (QS. Al Qamar:49)
Dalam Tafsir Al
Qurthuby, ayat ini ditafsirkan :
“Kepercayaan
yang dipegang oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah bahwa Allah SWT telah
mentaqdirkan segala sesuatu. Artinya Dia telah mengetahui ukuran, kondisi,
peraturan dan waktunya, jauh sebelum sesuatu itu terjadi. Oleh karena itu tidak
ada sesuatu kejadian di langit dan di bumi kecuali seluruhnya muncul dari ilmu,
qudrah (kekuasaan) dan iradah (kehendak) Allah SWT.”
Makna semua ini adalah
Allah telah mengetahui segala sesuatu, termauk nasib, rezeki, sukses, kaya atau
miskin dsb.
Yang harus kita
fahami, masalah taqdir hanya membahas tentang kekuasaan Allah SWT. Taqdir
merupakan Ilmu Allah dan kekhususan bagi-Nya (Ilmu Allah atas segala sesuatu)
dan mustahil ada sesuatu yang tidak diketahui-Nya.
Kewajiban iman kepada
taqdir bisa dan larangan mengingkarinya ditunjukkan oleh hadits berikut :
“Bagi setiap umat akan
muncul segolongan manusia yang berperilaku seperti majusi. Orang majusi
mengatakan bahwa tidak ada taqdir. Jika di anatara mereka ada yang meninggal,
jangan hadiri jenazahnya. Jika mereka sakit jangan dijenguk, (sebab) mereka
adalah (sama dengan) golongan dajjal. Memang pantas ketentuan tersebut, yaitu
menghubungkan perilaku mereka yang mirip dengan dajjal, adalah ketentuan yang
haq dari Allah SWT.” (HR.Abu
Dawud daru Hudzaifah)
Meskipun kita beriman
kepada taqdir, jangan mencampuradukkan antara “iman kepada taqdir”
dengan “amal perbuatan manusia”, karena tidak ada hubungannya sama
sekali. Dalam arti Ilmu Allah (Taqdir) tidak pernah memaksa manusia untuk
berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Harus difahami ada perbedaan antara
: Apa-apa yang harud diyakini dengan apa-apa yang harus dikerjakan.
Ini dijelaskan dalam sebuah hadits dari Ali bin Abi Thalib ra. (Syarah Shohih
Muslim, Imam Nawawi) :
“
... Setiap kalian yang bernyawa telah ditetapkan tempatnya di Jannah dan
Jahannam. Para Sahabat terkejut dan berkata : Kalau begitu buat apa kita
beramal ? Apakah tidak lebih baik kita bertawakkal saja (kepada taqdir) ?
Beliau menjawab : Jangan ! tetap beramal, setiap orang akan dimudahkan oleh
Allah jalan yang sudah ditentukan bagiNya. Lalu Rosulullah membaca QS. Al-Lail
ayat 5-10.”
Islam mengajarkan
bahwa manusia diciptakan dengan bekal akal, kekuatan, persiapan tenaga dan ilmu
agar ia mampu membedakan mana yang salah dan mana yang benar sebagai stndar
perbuatannya.
Tak ada manusia yang
mengetahui apa yang tertulis bagi dirinya di Lauhul Mahfuzh. Jika ada yang
mengatakan : “Saya berbuat begini karena telah dituliskan oleh Allah SWT di
Lauhul Mahfuzh harus berbuat begini”, darimana dia tahu bahwa Allah
menuliskan perbuatan tersebut baginya di Lauhul Mahfuzh ?
Sebagai kesimpulan
(nukilan dari Imam Al Khattabi dalam Aqidah Islam, Sayyid Sabiq):
Manusia secara
sukarela memilih suatu kehendaknya sendiri. Taqdir hanyalah pemberitahuan tentang
ilmu Allah yang sangat luas, meliputi segala sesuatu dan Ilmu Allah itu
tidak pernah memaksa seseorang untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat
sesuatu.
Sesungguhnya beriman
kepada taqdir dalam pemahaman yang benar akan memberi semangat juang yang luar
biasa dalam berusaha meraih kebaikan, baik di dunia maupun di akhirat.
Ketabahan dan keberanian akan terbentuk dalam menegakkan yang haq. Dia akan
bersyukur ketika berhasil dan sabar dan tetap berusaha ketika gagal.
Qadha dan
Qadar, Pengertian Iman terhadap Keduanya
Asal Mula
Istilah QQ
Ketika Khilafah
Islamiyah mulai bersentuhan dengan filsafat Yunani (faham di luar Islam), kaum
mulimin mulai mengkaji filsafat Yunani. Awalnya hanya menjadi kebutuhan untuk
menjawab tantangan orang-orang Nasrani, yang telah lebih dulu mempelajarinya
tnuk mempertahankan aqidah mereka.
Kaum muslimin
mendalami filsafat untuk membantah masalah-masalah yang dilontarkan oleh Nasrani,
terutama dalam bidang kebebasan bertindak (Free Will).
Dalam filsafat Yunani
terdapat dua golongan yang mengartikan kebebasan bertindak ini, yaitu Epikure,
yang mengartikan kebebasan secara mutlak (serba boleh) dan golongan
Skeptisme/Stoaisme yang mengartikan tidak adanya kebebasan (serba menyerah).
Golongan terkahir sering disebut Fatalisme.
Setelah pasukan jihad
kaum muslimin selesai melakukan penaklukan, baru mereka memiliki waktu luang
untuk berpikir. Saat itulah muncul permasalahan QQ, yang telah lama menjadi
bahan pembahasan filosof Yunani. QQ juga dikutip dan menjadi pemahaman kalangan
Nasrani dari sekte Surianis. Juga menjadi pembahasan di kalangan penyembah api
(Zarasustra).
Faham Qadariyah
(Muktazilah)
(As Sajadah 17 ; Al
Kahfi 29)
Golongan ini muncul
setelah terdapat persinggungan antara Islam dan peradaban non Islam. Golongan
ini mengatakan bahwa manusia bebas berkehendak. Dengan kata lain manusia
memiliki kemampuan (qadar)untuk berusaha sendiri, yang akhirnya disebut
Qadariyah. Mereka menolak pengaturan untuk segala sesuatunya sesuai dengan
taqdir (Al Qadar) maupun ketetapan Allah. Faham ini dikembangkan oleh Washil
bin Atha’.
Golongan ini memandang
manusia sesungguhnya menciptakan segala perbuatannya dengan ikhtiar dan
kudratnya sendiri dan bebas memilih. Jika ia mau, ia kerjakan, jika tidak ia
tinggalkan. Iradat dan kudrat-Nya tidak turut campur dalam perbuatan manusia.
Untuk lebih jelas
tentang Golongan Muktazilah ini, Sahabat bisa membaca beberapa tulisan tentang
filsafat Islam (Teologi Islam/Ilmu Kalam) dari berbagai penulis Islam.
Yang penting adalah,
faham ini telah kembali dihembuskan oleh Barat ke dalam pikiran kaum muslimin
melalui mereka yang menyebut/disebut dirinya sebagai cendekiawan muslim. Yang
lebih jauh nantinya, akan dipisahkannya agama dari kehidupan manusia.
Sebagai referensi
tambahan, bisa Sahabat baca di Dialog Jum’at Harian Republika 18 Juni 1999.
Dalam Harian tersebut, para ulama disarankan untuk mempertimbangkan Free Will
dalam diri manusia.
Faham
Jabariyah
(Ali Imran 145 ; Al
A’raa 34 ; At Taubah 51 ; Saba’ 3 ;
Al An’aam 60 ; An Nisaa’ 78 ; Ash Shfaat 96)
Faham ini bertolak
belakang dengan faham muktazilah. Yang memelopori munculnya faham ini adalah
Jahmu bin Sofwan. Ia berkata bahwa manusia tidak memiliki kekuasaan memilih, ia
harus pasrah. Seperti penciptaan benda-benda di muka bumi, perbuatan manusia
adalah salah satu yang diciptakan Allah yang harus dilakukan manusia.
Oleh karena itu,
pahala dan siksa adalah hasil dari paksaan. Imam Sa’duddin At Taftazany (Al
Aqa’id An Nasyafiyah) mengatakan bahwa golongan ini berpendapat manusia
sekali-kali tidak menguasai dirinya dalam setiap perbuatan, baik ataupun jahat.
Ia tidak beda dengan benda beku, yang berarti manusia adalah obyek (kehendak
dari luar).
Faham ini, dari fakta
yang bisa kita amati, sangat merasuk dan merusak pikiran sebagian kaum muslimin
saat ini.
Faham
Ahlussunnah wal Jama’ah
(Al Lail 5-10 ; Al
Ahqaf 14 ; Al Kahfi 29)
Kemunculan dua faham
di atas, mendorong ulama Ahlussunnah, seperti Abul Hasan Al Asy’ari dan Mansur
Al Maturidy memberikan jawaban untuk membela aqidah umat Islam agar tidak
tersesat oleh faham Muktazilah (Qadariyah) maupun Jabariyah. Faham ini
berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak, berkuasa dan berpengetahuan,
tetapi hanya sampai batas tertentu.
Dalam buku Manhaj dan
Akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah : Menurut Pemahaman Ulama Salaf, Muhammad Abdul
Hadi Al Mishri (Gema Insani Press) menyatakan bahwa keimanan terhadap taqdir
(qadar) Allah ada dua tingkatan, yang masing-masing mencakup dua hal :
Tingkat Pertama
- Beriman bahwa Allah
mengetahui semua perbuatan manusia berdasarkan ilmunya dan seluruh keadaan
mereka.
- Allah telah
menetapkan semua itu di dalam Lauhul Mahfuzh.
Taqdir inilah yang
diingkari oleh Qadariyah secara keterlaluan di masa lalu, dan sedikit di masa
mendatang.
Tingkat Kedua
- Semua yang terjadi
merupakan kehendak Allah SWT. Tiada Pencipta melainkan Allah. Tiada Tuhan
selain Allah.
- Meskipun demikian,
Allah telah memerintahkan hambaNya untuk mentaatiNya dan mentaati RasulNya,
serta mencegah mereka dari perbuatan maksiat. Para hamba adalah pelaku
sebenarnya, sedangkan Allah yang menciptakan perbuatan mereka, kemauan mereka
serta kemampuan mereka.
Perbedaan Ahlussunnah
dengan Qadariyah adalah faham Qadariyah mengingkari taqdir Allah, sehingga
Allah tidak ada peran sedikitpun di dalam ikhtiariyah manusia.
Perbedaan Ahlussunnah
dengan Jabariyah adalah faham Jabariyah mengingkari adanya ikhtiariyah manusia,
sehingga manusia hanyalah obyek ciptaan Allah.
Ahlussunnah
berpendapat bahwa manusia dihisab atas dasar kasb ikhtiari di dalam perbuatan.
Kasb Ihktiari artinya tatkala manusia hendak berbuat sesuatu, Allah menciptakan
amal perbuatan tsb.
BAGAIMANA
MENYIKAPI BERBAGAI FAHAM INI ?
Kaum muslimin terpecah
ke dalam tiga golongan besar ketika membahas amal/perbuatan manusia terkait
dengan asas taklif, pahala dan siksa. Satu mengingkari taqdir/peran Allah, satu
lagi mengingkari peran ikhtiar manusia dan satu lagi berada di tengah-tengah.
Perlu dicari terlebih
dahulu dasar pembahasan masalah QQ.
Sesungguhnya dasar
tersebut bukanlah menyangkut perbuatan manusia dilihat apakah diciptakan Allah
atau oleh dirinya sendiri, seperti yang telah disebutkan dalam pembahasan
Taqdir.
Juga tidak menyangkut
ilmu Allah SWT, dilihat dari kenyataan bahwa Allah SWT mengetahui apa yang akan
dilakukan hambaNya, dimana ilmuNya meliputi segala perbuatan hamba.
Tidak pula terkait
dengan Iradah Allah, yang IradahNya dikatakan berkaitan erat dengan perbuatan
hamba, sehingga perbuatan tadi harus terjadi dengan Iradah tadi.
Juga tidak berhubungan
dengan status perbuatan hamba yang sudah tertulis dalam Luhul Mahfuzh, sehingga
tidak boleh tidak ia harus melakukannya sesuai dengan apa yang tertulis sesuai
dengan apa yang tertulis di dalamnya.
Masalah-masalah
tersebut hanya berkaitan dengan penciptaan, Ilmu Allah yang sanggup meliputi
segala sesuatu. Semua itu pembahasan yang lain , yang terpisah dari pembahasan
pahala dan siksa atas perbuatan manusia.
Untuk masalah ciptaan,
maka semuanya ciptaan Allah termasuk perbuatan manusia, namun ini bukanlah
dasar pembahasan QQ.
Itu semua pembahasan
lain yang terpisah dari dasar pembahasan Qadla dan Qadar. Dasar pembahasan QQ adalah
adanya paksaan atau kesukarelaan manusia untuk berbuat serta pahala dan siksa
atas perbuatan manusia.
Jika kita teliti, maka
perbuatan manusia adalah sesuatu yang bisa diindera, maka pembahasannya pun
melalui dalil aqli.
Di bawah ini
dijelaskan Qadla’ dan Qadar
Hakikat
Perbuatan Manusia dan Kejadian yang Menimpanya
Jika kita teliti
kehidupan manusia, maka manusia hidup dalam dua wilayah kegiatan, yaitu :
- Wilayah yang
dikuasai manusia
Wilayah yang berada di
bawah batas tingkah lakunya dan di dalamnya terjadi perbuatan-perbuatan yang
timbul akibat semata-mata pilihannya.
- Wilayah yang
menguasai manusia
Dalam wilayah kedua
ini, terjadi perbuatan atau kejadian dimana manusia tidak memiliki peran
sedikitpun. Manusia dipaksa menerimanya, baik perbuatan dan kejadian tersebut
muncul dari dirinya maupun yang menimpanya.
Perbuatan dalam
wilayah pertama mudah diketahui, seperti kita mau duduk, makan, minum, berbakti
atau durhaka kepada manusia. Seluruh perbuatan dalam wilayah ini atas kesadaran
dan kesukarelaan manusia tanpa paksaan dari pihak manapun.
Perbuatan dalam
wilayah kedua bisa dibagi menjadi dua bentuk, yaitu :
Yang ditentukan oleh
nidhom wujud (sunatullah/peraturan alam). Wilayah ini memaksa manusia untuk
menerima apa yang telah ditetapkan, karena kejadian-kejadian dalam wilayah ini
muncul tanpa kehendak manusia. Disini manusia diatur, tidak bebas memilih.
Misalnya ia datang ke dunia dan meninggalkannya tanpa kemauannya. Ia tidak
dapat terbang hanya dengan tubuhnya dll. Yang menciptakan semua ini adalah
Allah SWT.
Yang tidak ditentukan
nidhom wujud, namun tetap di luar kekuasaan manusia. Misalnya sebuah pesawat
jatuh dan menewaskan penumpangnya, akibat kecelakaan yang mendadak. Disini
tidak terdapat nidhom wujud, namun tanpa kehendak manusia kejadian tersebut
terjadi.
Kedua bentuk kejadian
tersebut adalah wilayah yang menguasai manusia. Itulah yang disebut qadla’
(keputusan) Allah. Sebab Allahlah yang memutuskan (mengqadla’).
Terlepas apakah itu
baik atau buruk menurut penafsiran manusia, yang jelas bukan karena hari apes,
memakai jimat/mantra dsb. Semuanya diputuskan Allah untuk menimpa kita.
Oleh karena itu,
seorang hamba tidak akan dihisab atas terjadinya kejadian-kejadian ini. Manusia
hanya diwajibkan mengimani akan adanya qadla’ dan bahwasannya qadla’ datang
dari Allah SWT bukan dari yang lain.
Itulah pengertian
qadla’ dalam pengertian QQ (yang digabung).
Penjelasan
Qadar
Semua kejadian baik di
dalam maupun di luar peran manusia terjadi dari benda atau menimpa/terhadap
benda, baik benda itu, alam semesta, manusia maupun kehidupan.
Sesungguhnya Allah SWT
telah menciptakan karakteristik/ khasiat (sifat-sifat) tertentu pada setiap
benda. Misalnya api bersifat membakar, dalam kayu bersifat terbakar. Semua
khasiat tersebut telah tunduk sesuai dengan nidhom wujud yang tidak bisa
dilanggar lagi. Khasiat ini bisa hilang (melanggar nidhom wujud), jika Allah
mencabutnya. Seperti dalam mukjizat Nabi.
Seperti pada benda,
pada diri manusia juga diciptakan khasiat-khasiat : kebutuhan jasmani (hajat
‘udlawiyah) dan kebutuhan naluri (gharizah/instink).
Pada gharizah
melanjutkan keturunan (gharizatun nau’)terdapat khasiat berupa dorongan
seksual. Kebutuhan jasmani diciptakan lapar, haus dsb.
Seluruh khasiat
tersebut adalah yang disebut QADAR (penetapan).
Dalam masalah ini manusia tidak memiliki andil apapun. Ia hanya
diwajibkan mengimani bahwa yang menetapkan khasiat-khasiat dalam benda-benda
tersebut adalah Allah SWT.
Amal Manusia
yang Dihisab
Dalam wilayah kedua
manusia tidak dihisab Allah. Namun untuk wilayah pertama (lingkaran yang
dikuasai manusia), manusia akan memanfaatkan khasiat-khasiat benda untuk
memenuhi kebutuhan jasmani dan gharizahnya dan akan dihisab karena penggunaan
khasiat-khasiat tersebut.
Contoh kasus : Api
berkhasiat membakar. Namun ketika terjadi pembakaran rumah ibadah, kita tidak
bisa menyalahkan api itu dengan mengatakan yang membakar api itu. Manusialah
yang memanfaatkan khasiat api untuk membakar rumah.
Seluruh Gharizah dan
Kebutuhan Jasmani memiliki qabiliyyah (tendensi/kecenderungan) untuk digunakan
manusia dalam berbuat suatu amal perbuatan. Apakah perbuatan baik atau buruk.
Apabila digunakan sesuai dengan perintah Allah, maka perbuatan itu berupa
kebaikan. Sedangkan jika digunakan untuk melanggar aturan Allah berarti ia
telah berbuat jahat. Baik ia menggunakan khasiat pada benda maupun pada
pemenuhan kebutuhan jasmani maupun gharizahnya.
Hal ini karena Allah
telah menciptakan akal bagi manusia, yang mampu membedakan. Di dalam tabiat
akal ini diciptakan kemampuan memahami serta membedakan mana yang baik dan
buruk. Sebagaimana :
Dan ia pun memberinya
ilham akan mana yang baik dan mana yang taqwa (QS. Asy Syams 8)
Di sisi lain Allah
telah menunjukkan kepada manusia jalan yang baik dan yang buruk, sebagaimana :
Telah Kami tunjukkan
padanya dua jalan (QS.
Al Balad 10)
Gharizah dan kebutuhan
jasmani manusia memang memiliki kecenderungan yang baik ataupun buruk di dalam
memanfaatkan khasiat benda, yang kesemuanya diciptakan Allah, namun kesemuanya
tidak diciptakan dalam bentuk yang memaksa manusia untuk melakukan atau tidak
melakukan suatu perbuatan. Melainkan khasiat tersebut dijadikan Allah
bermanfaat jika digunakan oleh manusia dalam bentuk yang tepat.
Jadi manusia bebas
untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan dengan menggunakan akalnya
yang mampu membeda-bedakan. Dijadikannya akal sebagai (manath) pembebanan
kewajiban syari’at. Pahala Allah bagi yang menggunakan akalnya untuk memilih
melaksanakan perbuatan yang baik dan siksa bagi yang menggunakan akalnya untuk
memilih melaksanakan pelanggaran syari’at Allah.
Oleh karena itu
manusia bertanggung jawab penuh atas perbuatannya, sebagaimana :
Setiap diri
bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya (QS> Al Mudatsir
38)
Adapun mengenai ilmu
Allah yang meliputi segala sesuatu, ilmu tersebut tidak memaksa si hamba untuk
melakukan perbuatan sebabab Allah mengetahui bahwa hamba akan melakukan
perbuatan secara sukarela. Dan perbuatan tsb. bukan berdasarkan ilmu Allah,
melainkan sudah menjadi ilmu Allah yang azali. Tulisan di Lauhul Mahfuzh,
sekali lagi adalah perlambang (ta’bir) betapa luasnya ilmu Allah atas segala
sesuatu.
Demikian pula dengan
Iradah Allah. Ia tidak memaksa manusia untuk melakukan suatu perbuatan baik
buruk atau baik. Perbuatan buruk tidak berarti melawan kehendakNya. Oleh karena
itu setiap perbuatan hamba, pada hakekatnya adalah atas kehendakNya, namun
sekali lagi perbuatan tsb. adalah pilihan sukarela hamba.
Khatimah
Itulah masalah Qadla’
dan Qadar. Masalah ini mendorong manusia untuk melakukan kebaikan dan menjauhi
kejahatan, jika ia menyadari Allah senantiasa mengawasi serta akan
menghisabnya. Oleh karena itu, seorang muslim sejati yang memahami hakekat
qadla’ dan qadar, hakekat nikmat akal dan nikmat hak pilih akan bersikap
hati-hati dan takut (wara’) kepada Allah. Senantiasa berbuat amal kebajikan,
berusaha menegakkan Kalimah Allah, takut akan siksa Allah dan rindu akan surga
dan yang lebih besar dari surga adalah keridlaan Allah Subhanahu wa ta‘Ala.
Wallahu ’alam bi ash
showab
Ya Allah kami
sampaikan, Ya Allah saksikanlah.
Saya sarankan
Rekan-Rekan TIM-IF mempelajari proses keimanan terlebih dahulu, namun tulisan
di atas tidak menutup kemungkinan untuk dibaca. Satu hal yang terkait dengan
erat dengan masalah Qadla’ dan Qadar adalah HUKUM ASAL PERBUATAN MANUSIA YAITU
TERIKAT DENGAN HUKUM SYARA’. Insya Allah akan berlanjut.
Sumber Rujukan
1.
Al
Qur’anul Karim
2.
Nidhom
Al Islam, Taqiyuddin An Nabhani
3.
Al
Fikru Al Islamy (Bunga Rampai Pemikiran Islam), Muhammad Ismail
4.
Aqidah
Islam, Sayyid Sabiq
5.
Manhaj
dan Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah, Muhammad Abdul Hadi Al Mishri
Bandung, 20 Juni 1999/
*******************************************************
Singgih Saptadi
Lembaga Pengkajian Islam Strategis (LPIS)
Bandung
LPIS membuka diri bagi Anda yang ingin
mendiskusikan/mempunyai pertanyaan seputar kondisi kaum muslimin saat ini.
Bismillah
Ar Rohmaan Ar Rahiim
Taqdir serta Qadha dan Qadar (T-Q-Q)
Inti dari pembahasan
TQQ sbb. :
·
Pembahasan
taqdir harus dipisahkan dari Pembahasan Ikhtiariah (Usaha) manusia.
·
Hasil
ikhtiariah (Usaha) merupakan taqdir yang sudah ditentukan oleh Allah (INGAT
perlambang bahwa begitu luasnya Ilmu Allah, sebab Allah Maha Mengetahui)
·
Dengan
pengetahuan ini dan menjadikannya sebagai bagian ideologi Islam akan mendorong
kaum muslimin untuk bangkit dan maju pesat, kembali menegakkan Kalimah Allah di
muka bumi.
Penjelasan TQQ adalah
sebagai berikut.
Muqaddimah
Iman kepada taqdir
merupakan sesuatu yang wajib bagi setiap muslim, sebab hal ini memiliki
sandaran nash-nash Alqur’an yang pasti (qoth’i) serta dijelaskan oleh
Rasulullah saw dalam sunnahnya. Berbeda dengan iman kepada qadha dan qadar, ia
bukan lahir dari nash-nash syara’ secara langsung. Istilah qadha dan qadar,
sebagai istilah tertentu dan bermakna tertentu pula, tidak didapatkan dalam
Alqur’an dan Assunnah. Jika kita kaji Alqur’an dan Assunnah, masalah ini (Qadha
dan Qadar) tidak akan kita temukan. Yang kita temukan adalah pembahasan tentang
taqdir (atau al Qadar yang bermakna taqdir).
Tiadanya pembahasan
qadha dan qadar (yang digabungkan dan memiliki makna tertentu) tersebut, karena
masalah ini baru muncul pada masa tabi’in (setelah masa sahabat), pada akhir
abad pertama Hijriyah (awal abad Kedua H). Ketika muslimin bersentuhan dengan
filsafat Yunani.
Taqdir
& Pengertian Iman Kepadanya
Seorang muslim beriman
bahwa semua kejadian/keadaan di dunia ini pasti diketahui oleh Allah SWT (Al
Aliim); baik yang lalu, sedang maupun akan terjadi. Semuanya telah tertulis di
Lauhul Mahfuzh (kitab induk, menggambarkan luasnya Ilmu Allah SWT). Ini
pengertian yang bisa kita peroleh Alqur’an dan Hadits Rosulullah saw.
Dengan kata lain
taqdir : catatan (ilmu Allah) yang menyeluruh dan meliputi segala sesuatu.
Bagaimana sikap
seorang muslim terhadap taqdir ini ? Mengimaninya adalah kewajiban (iman kepada
taqdir adalah bagian dari rukun iman). Imam Muslim meriwayatkan Umar ibn
Khathab : ketika itu Malaikat Jibril datang kepada Nabi saw dan bertanya :
“Coba
ceritakan apa iman itu ? Lalu Rosulullah menjawab : Iman itu percaya kepada
adanya Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari kiamat dan
percaya kepada taqdir baik dan buruknya berasal dari Allah (Al qadari khoiru wa
syarih).”
Dari hadits ini sering
kita mengartikan bahwa taqdir yang baik : Qadha dan yang buruk Qadar. Ini Salah
juga. Qadar di sini adalah taqdir (Qadar yang bermakna taqdir).
Seorang muslim yang
tidak percaya masalah taqdir, maka imannya cacat bahkan dapat mengeluarkannya
dari Islam, karena Alqur’an dan Hadits telah tegas, seperti ayat :
“Sesungguhnya
Kami menciptakan segala sesuatu menurut taqdirnya/ukurannya” (QS. Al Qamar:49)
Dalam Tafsir Al
Qurthuby, ayat ini ditafsirkan :
“Kepercayaan
yang dipegang oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah bahwa Allah SWT telah
mentaqdirkan segala sesuatu. Artinya Dia telah mengetahui ukuran, kondisi,
peraturan dan waktunya, jauh sebelum sesuatu itu terjadi. Oleh karena itu tidak
ada sesuatu kejadian di langit dan di bumi kecuali seluruhnya muncul dari ilmu,
qudrah (kekuasaan) dan iradah (kehendak) Allah SWT.”
Makna semua ini adalah
Allah telah mengetahui segala sesuatu, termauk nasib, rezeki, sukses, kaya atau
miskin dsb.
Yang harus kita
fahami, masalah taqdir hanya membahas tentang kekuasaan Allah SWT. Taqdir
merupakan Ilmu Allah dan kekhususan bagi-Nya (Ilmu Allah atas segala sesuatu)
dan mustahil ada sesuatu yang tidak diketahui-Nya.
Kewajiban iman kepada
taqdir bisa dan larangan mengingkarinya ditunjukkan oleh hadits berikut :
“Bagi setiap umat akan
muncul segolongan manusia yang berperilaku seperti majusi. Orang majusi
mengatakan bahwa tidak ada taqdir. Jika di anatara mereka ada yang meninggal,
jangan hadiri jenazahnya. Jika mereka sakit jangan dijenguk, (sebab) mereka
adalah (sama dengan) golongan dajjal. Memang pantas ketentuan tersebut, yaitu
menghubungkan perilaku mereka yang mirip dengan dajjal, adalah ketentuan yang
haq dari Allah SWT.” (HR.Abu
Dawud daru Hudzaifah)
Meskipun kita beriman
kepada taqdir, jangan mencampuradukkan antara “iman kepada taqdir”
dengan “amal perbuatan manusia”, karena tidak ada hubungannya sama
sekali. Dalam arti Ilmu Allah (Taqdir) tidak pernah memaksa manusia untuk
berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Harus difahami ada perbedaan antara
: Apa-apa yang harud diyakini dengan apa-apa yang harus dikerjakan.
Ini dijelaskan dalam sebuah hadits dari Ali bin Abi Thalib ra. (Syarah Shohih
Muslim, Imam Nawawi) :
“
... Setiap kalian yang bernyawa telah ditetapkan tempatnya di Jannah dan
Jahannam. Para Sahabat terkejut dan berkata : Kalau begitu buat apa kita
beramal ? Apakah tidak lebih baik kita bertawakkal saja (kepada taqdir) ?
Beliau menjawab : Jangan ! tetap beramal, setiap orang akan dimudahkan oleh
Allah jalan yang sudah ditentukan bagiNya. Lalu Rosulullah membaca QS. Al-Lail
ayat 5-10.”
Islam mengajarkan
bahwa manusia diciptakan dengan bekal akal, kekuatan, persiapan tenaga dan ilmu
agar ia mampu membedakan mana yang salah dan mana yang benar sebagai stndar
perbuatannya.
Tak ada manusia yang
mengetahui apa yang tertulis bagi dirinya di Lauhul Mahfuzh. Jika ada yang
mengatakan : “Saya berbuat begini karena telah dituliskan oleh Allah SWT di
Lauhul Mahfuzh harus berbuat begini”, darimana dia tahu bahwa Allah
menuliskan perbuatan tersebut baginya di Lauhul Mahfuzh ?
Sebagai kesimpulan
(nukilan dari Imam Al Khattabi dalam Aqidah Islam, Sayyid Sabiq):
Manusia secara
sukarela memilih suatu kehendaknya sendiri. Taqdir hanyalah pemberitahuan tentang
ilmu Allah yang sangat luas, meliputi segala sesuatu dan Ilmu Allah itu
tidak pernah memaksa seseorang untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat
sesuatu.
Sesungguhnya beriman
kepada taqdir dalam pemahaman yang benar akan memberi semangat juang yang luar
biasa dalam berusaha meraih kebaikan, baik di dunia maupun di akhirat.
Ketabahan dan keberanian akan terbentuk dalam menegakkan yang haq. Dia akan
bersyukur ketika berhasil dan sabar dan tetap berusaha ketika gagal.
Qadha dan
Qadar, Pengertian Iman terhadap Keduanya
Asal Mula
Istilah QQ
Ketika Khilafah
Islamiyah mulai bersentuhan dengan filsafat Yunani (faham di luar Islam), kaum
mulimin mulai mengkaji filsafat Yunani. Awalnya hanya menjadi kebutuhan untuk
menjawab tantangan orang-orang Nasrani, yang telah lebih dulu mempelajarinya
tnuk mempertahankan aqidah mereka.
Kaum muslimin
mendalami filsafat untuk membantah masalah-masalah yang dilontarkan oleh Nasrani,
terutama dalam bidang kebebasan bertindak (Free Will).
Dalam filsafat Yunani
terdapat dua golongan yang mengartikan kebebasan bertindak ini, yaitu Epikure,
yang mengartikan kebebasan secara mutlak (serba boleh) dan golongan
Skeptisme/Stoaisme yang mengartikan tidak adanya kebebasan (serba menyerah).
Golongan terkahir sering disebut Fatalisme.
Setelah pasukan jihad
kaum muslimin selesai melakukan penaklukan, baru mereka memiliki waktu luang
untuk berpikir. Saat itulah muncul permasalahan QQ, yang telah lama menjadi
bahan pembahasan filosof Yunani. QQ juga dikutip dan menjadi pemahaman kalangan
Nasrani dari sekte Surianis. Juga menjadi pembahasan di kalangan penyembah api
(Zarasustra).
Faham Qadariyah
(Muktazilah)
(As Sajadah 17 ; Al
Kahfi 29)
Golongan ini muncul
setelah terdapat persinggungan antara Islam dan peradaban non Islam. Golongan
ini mengatakan bahwa manusia bebas berkehendak. Dengan kata lain manusia
memiliki kemampuan (qadar)untuk berusaha sendiri, yang akhirnya disebut
Qadariyah. Mereka menolak pengaturan untuk segala sesuatunya sesuai dengan
taqdir (Al Qadar) maupun ketetapan Allah. Faham ini dikembangkan oleh Washil
bin Atha’.
Golongan ini memandang
manusia sesungguhnya menciptakan segala perbuatannya dengan ikhtiar dan
kudratnya sendiri dan bebas memilih. Jika ia mau, ia kerjakan, jika tidak ia
tinggalkan. Iradat dan kudrat-Nya tidak turut campur dalam perbuatan manusia.
Untuk lebih jelas
tentang Golongan Muktazilah ini, Sahabat bisa membaca beberapa tulisan tentang
filsafat Islam (Teologi Islam/Ilmu Kalam) dari berbagai penulis Islam.
Yang penting adalah,
faham ini telah kembali dihembuskan oleh Barat ke dalam pikiran kaum muslimin
melalui mereka yang menyebut/disebut dirinya sebagai cendekiawan muslim. Yang
lebih jauh nantinya, akan dipisahkannya agama dari kehidupan manusia.
Sebagai referensi
tambahan, bisa Sahabat baca di Dialog Jum’at Harian Republika 18 Juni 1999.
Dalam Harian tersebut, para ulama disarankan untuk mempertimbangkan Free Will
dalam diri manusia.
Faham
Jabariyah
(Ali Imran 145 ; Al
A’raa 34 ; At Taubah 51 ; Saba’ 3 ;
Al An’aam 60 ; An Nisaa’ 78 ; Ash Shfaat 96)
Faham ini bertolak
belakang dengan faham muktazilah. Yang memelopori munculnya faham ini adalah
Jahmu bin Sofwan. Ia berkata bahwa manusia tidak memiliki kekuasaan memilih, ia
harus pasrah. Seperti penciptaan benda-benda di muka bumi, perbuatan manusia
adalah salah satu yang diciptakan Allah yang harus dilakukan manusia.
Oleh karena itu,
pahala dan siksa adalah hasil dari paksaan. Imam Sa’duddin At Taftazany (Al
Aqa’id An Nasyafiyah) mengatakan bahwa golongan ini berpendapat manusia
sekali-kali tidak menguasai dirinya dalam setiap perbuatan, baik ataupun jahat.
Ia tidak beda dengan benda beku, yang berarti manusia adalah obyek (kehendak
dari luar).
Faham ini, dari fakta
yang bisa kita amati, sangat merasuk dan merusak pikiran sebagian kaum muslimin
saat ini.
Faham
Ahlussunnah wal Jama’ah
(Al Lail 5-10 ; Al
Ahqaf 14 ; Al Kahfi 29)
Kemunculan dua faham
di atas, mendorong ulama Ahlussunnah, seperti Abul Hasan Al Asy’ari dan Mansur
Al Maturidy memberikan jawaban untuk membela aqidah umat Islam agar tidak
tersesat oleh faham Muktazilah (Qadariyah) maupun Jabariyah. Faham ini
berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak, berkuasa dan berpengetahuan,
tetapi hanya sampai batas tertentu.
Dalam buku Manhaj dan
Akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah : Menurut Pemahaman Ulama Salaf, Muhammad Abdul
Hadi Al Mishri (Gema Insani Press) menyatakan bahwa keimanan terhadap taqdir
(qadar) Allah ada dua tingkatan, yang masing-masing mencakup dua hal :
Tingkat Pertama
- Beriman bahwa Allah
mengetahui semua perbuatan manusia berdasarkan ilmunya dan seluruh keadaan
mereka.
- Allah telah
menetapkan semua itu di dalam Lauhul Mahfuzh.
Taqdir inilah yang
diingkari oleh Qadariyah secara keterlaluan di masa lalu, dan sedikit di masa
mendatang.
Tingkat Kedua
- Semua yang terjadi
merupakan kehendak Allah SWT. Tiada Pencipta melainkan Allah. Tiada Tuhan
selain Allah.
- Meskipun demikian,
Allah telah memerintahkan hambaNya untuk mentaatiNya dan mentaati RasulNya,
serta mencegah mereka dari perbuatan maksiat. Para hamba adalah pelaku
sebenarnya, sedangkan Allah yang menciptakan perbuatan mereka, kemauan mereka
serta kemampuan mereka.
Perbedaan Ahlussunnah
dengan Qadariyah adalah faham Qadariyah mengingkari taqdir Allah, sehingga
Allah tidak ada peran sedikitpun di dalam ikhtiariyah manusia.
Perbedaan Ahlussunnah
dengan Jabariyah adalah faham Jabariyah mengingkari adanya ikhtiariyah manusia,
sehingga manusia hanyalah obyek ciptaan Allah.
Ahlussunnah
berpendapat bahwa manusia dihisab atas dasar kasb ikhtiari di dalam perbuatan.
Kasb Ihktiari artinya tatkala manusia hendak berbuat sesuatu, Allah menciptakan
amal perbuatan tsb.
BAGAIMANA
MENYIKAPI BERBAGAI FAHAM INI ?
Kaum muslimin terpecah
ke dalam tiga golongan besar ketika membahas amal/perbuatan manusia terkait
dengan asas taklif, pahala dan siksa. Satu mengingkari taqdir/peran Allah, satu
lagi mengingkari peran ikhtiar manusia dan satu lagi berada di tengah-tengah.
Perlu dicari terlebih
dahulu dasar pembahasan masalah QQ.
Sesungguhnya dasar
tersebut bukanlah menyangkut perbuatan manusia dilihat apakah diciptakan Allah
atau oleh dirinya sendiri, seperti yang telah disebutkan dalam pembahasan
Taqdir.
Juga tidak menyangkut
ilmu Allah SWT, dilihat dari kenyataan bahwa Allah SWT mengetahui apa yang akan
dilakukan hambaNya, dimana ilmuNya meliputi segala perbuatan hamba.
Tidak pula terkait
dengan Iradah Allah, yang IradahNya dikatakan berkaitan erat dengan perbuatan
hamba, sehingga perbuatan tadi harus terjadi dengan Iradah tadi.
Juga tidak berhubungan
dengan status perbuatan hamba yang sudah tertulis dalam Luhul Mahfuzh, sehingga
tidak boleh tidak ia harus melakukannya sesuai dengan apa yang tertulis sesuai
dengan apa yang tertulis di dalamnya.
Masalah-masalah
tersebut hanya berkaitan dengan penciptaan, Ilmu Allah yang sanggup meliputi
segala sesuatu. Semua itu pembahasan yang lain , yang terpisah dari pembahasan
pahala dan siksa atas perbuatan manusia.
Untuk masalah ciptaan,
maka semuanya ciptaan Allah termasuk perbuatan manusia, namun ini bukanlah
dasar pembahasan QQ.
Itu semua pembahasan
lain yang terpisah dari dasar pembahasan Qadla dan Qadar. Dasar pembahasan QQ adalah
adanya paksaan atau kesukarelaan manusia untuk berbuat serta pahala dan siksa
atas perbuatan manusia.
Jika kita teliti, maka
perbuatan manusia adalah sesuatu yang bisa diindera, maka pembahasannya pun
melalui dalil aqli.
Di bawah ini
dijelaskan Qadla’ dan Qadar
Hakikat
Perbuatan Manusia dan Kejadian yang Menimpanya
Jika kita teliti
kehidupan manusia, maka manusia hidup dalam dua wilayah kegiatan, yaitu :
- Wilayah yang
dikuasai manusia
Wilayah yang berada di
bawah batas tingkah lakunya dan di dalamnya terjadi perbuatan-perbuatan yang
timbul akibat semata-mata pilihannya.
- Wilayah yang
menguasai manusia
Dalam wilayah kedua
ini, terjadi perbuatan atau kejadian dimana manusia tidak memiliki peran
sedikitpun. Manusia dipaksa menerimanya, baik perbuatan dan kejadian tersebut
muncul dari dirinya maupun yang menimpanya.
Perbuatan dalam
wilayah pertama mudah diketahui, seperti kita mau duduk, makan, minum, berbakti
atau durhaka kepada manusia. Seluruh perbuatan dalam wilayah ini atas kesadaran
dan kesukarelaan manusia tanpa paksaan dari pihak manapun.
Perbuatan dalam
wilayah kedua bisa dibagi menjadi dua bentuk, yaitu :
Yang ditentukan oleh
nidhom wujud (sunatullah/peraturan alam). Wilayah ini memaksa manusia untuk
menerima apa yang telah ditetapkan, karena kejadian-kejadian dalam wilayah ini
muncul tanpa kehendak manusia. Disini manusia diatur, tidak bebas memilih.
Misalnya ia datang ke dunia dan meninggalkannya tanpa kemauannya. Ia tidak
dapat terbang hanya dengan tubuhnya dll. Yang menciptakan semua ini adalah
Allah SWT.
Yang tidak ditentukan
nidhom wujud, namun tetap di luar kekuasaan manusia. Misalnya sebuah pesawat
jatuh dan menewaskan penumpangnya, akibat kecelakaan yang mendadak. Disini
tidak terdapat nidhom wujud, namun tanpa kehendak manusia kejadian tersebut
terjadi.
Kedua bentuk kejadian
tersebut adalah wilayah yang menguasai manusia. Itulah yang disebut qadla’
(keputusan) Allah. Sebab Allahlah yang memutuskan (mengqadla’).
Terlepas apakah itu
baik atau buruk menurut penafsiran manusia, yang jelas bukan karena hari apes,
memakai jimat/mantra dsb. Semuanya diputuskan Allah untuk menimpa kita.
Oleh karena itu,
seorang hamba tidak akan dihisab atas terjadinya kejadian-kejadian ini. Manusia
hanya diwajibkan mengimani akan adanya qadla’ dan bahwasannya qadla’ datang
dari Allah SWT bukan dari yang lain.
Itulah pengertian
qadla’ dalam pengertian QQ (yang digabung).
Penjelasan
Qadar
Semua kejadian baik di
dalam maupun di luar peran manusia terjadi dari benda atau menimpa/terhadap
benda, baik benda itu, alam semesta, manusia maupun kehidupan.
Sesungguhnya Allah SWT
telah menciptakan karakteristik/ khasiat (sifat-sifat) tertentu pada setiap
benda. Misalnya api bersifat membakar, dalam kayu bersifat terbakar. Semua
khasiat tersebut telah tunduk sesuai dengan nidhom wujud yang tidak bisa
dilanggar lagi. Khasiat ini bisa hilang (melanggar nidhom wujud), jika Allah
mencabutnya. Seperti dalam mukjizat Nabi.
Seperti pada benda,
pada diri manusia juga diciptakan khasiat-khasiat : kebutuhan jasmani (hajat
‘udlawiyah) dan kebutuhan naluri (gharizah/instink).
Pada gharizah
melanjutkan keturunan (gharizatun nau’)terdapat khasiat berupa dorongan
seksual. Kebutuhan jasmani diciptakan lapar, haus dsb.
Seluruh khasiat
tersebut adalah yang disebut QADAR (penetapan).
Dalam masalah ini manusia tidak memiliki andil apapun. Ia hanya
diwajibkan mengimani bahwa yang menetapkan khasiat-khasiat dalam benda-benda
tersebut adalah Allah SWT.
Amal Manusia
yang Dihisab
Dalam wilayah kedua
manusia tidak dihisab Allah. Namun untuk wilayah pertama (lingkaran yang
dikuasai manusia), manusia akan memanfaatkan khasiat-khasiat benda untuk
memenuhi kebutuhan jasmani dan gharizahnya dan akan dihisab karena penggunaan
khasiat-khasiat tersebut.
Contoh kasus : Api
berkhasiat membakar. Namun ketika terjadi pembakaran rumah ibadah, kita tidak
bisa menyalahkan api itu dengan mengatakan yang membakar api itu. Manusialah
yang memanfaatkan khasiat api untuk membakar rumah.
Seluruh Gharizah dan
Kebutuhan Jasmani memiliki qabiliyyah (tendensi/kecenderungan) untuk digunakan
manusia dalam berbuat suatu amal perbuatan. Apakah perbuatan baik atau buruk.
Apabila digunakan sesuai dengan perintah Allah, maka perbuatan itu berupa
kebaikan. Sedangkan jika digunakan untuk melanggar aturan Allah berarti ia
telah berbuat jahat. Baik ia menggunakan khasiat pada benda maupun pada
pemenuhan kebutuhan jasmani maupun gharizahnya.
Hal ini karena Allah
telah menciptakan akal bagi manusia, yang mampu membedakan. Di dalam tabiat
akal ini diciptakan kemampuan memahami serta membedakan mana yang baik dan
buruk. Sebagaimana :
Dan ia pun memberinya
ilham akan mana yang baik dan mana yang taqwa (QS. Asy Syams 8)
Di sisi lain Allah
telah menunjukkan kepada manusia jalan yang baik dan yang buruk, sebagaimana :
Telah Kami tunjukkan
padanya dua jalan (QS.
Al Balad 10)
Gharizah dan kebutuhan
jasmani manusia memang memiliki kecenderungan yang baik ataupun buruk di dalam
memanfaatkan khasiat benda, yang kesemuanya diciptakan Allah, namun kesemuanya
tidak diciptakan dalam bentuk yang memaksa manusia untuk melakukan atau tidak
melakukan suatu perbuatan. Melainkan khasiat tersebut dijadikan Allah
bermanfaat jika digunakan oleh manusia dalam bentuk yang tepat.
Jadi manusia bebas
untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan dengan menggunakan akalnya
yang mampu membeda-bedakan. Dijadikannya akal sebagai (manath) pembebanan
kewajiban syari’at. Pahala Allah bagi yang menggunakan akalnya untuk memilih
melaksanakan perbuatan yang baik dan siksa bagi yang menggunakan akalnya untuk
memilih melaksanakan pelanggaran syari’at Allah.
Oleh karena itu
manusia bertanggung jawab penuh atas perbuatannya, sebagaimana :
Setiap diri
bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya (QS> Al Mudatsir
38)
Adapun mengenai ilmu
Allah yang meliputi segala sesuatu, ilmu tersebut tidak memaksa si hamba untuk
melakukan perbuatan sebabab Allah mengetahui bahwa hamba akan melakukan
perbuatan secara sukarela. Dan perbuatan tsb. bukan berdasarkan ilmu Allah,
melainkan sudah menjadi ilmu Allah yang azali. Tulisan di Lauhul Mahfuzh,
sekali lagi adalah perlambang (ta’bir) betapa luasnya ilmu Allah atas segala
sesuatu.
Demikian pula dengan
Iradah Allah. Ia tidak memaksa manusia untuk melakukan suatu perbuatan baik
buruk atau baik. Perbuatan buruk tidak berarti melawan kehendakNya. Oleh karena
itu setiap perbuatan hamba, pada hakekatnya adalah atas kehendakNya, namun
sekali lagi perbuatan tsb. adalah pilihan sukarela hamba.
Khatimah
Itulah masalah Qadla’
dan Qadar. Masalah ini mendorong manusia untuk melakukan kebaikan dan menjauhi
kejahatan, jika ia menyadari Allah senantiasa mengawasi serta akan
menghisabnya. Oleh karena itu, seorang muslim sejati yang memahami hakekat
qadla’ dan qadar, hakekat nikmat akal dan nikmat hak pilih akan bersikap
hati-hati dan takut (wara’) kepada Allah. Senantiasa berbuat amal kebajikan,
berusaha menegakkan Kalimah Allah, takut akan siksa Allah dan rindu akan surga
dan yang lebih besar dari surga adalah keridlaan Allah Subhanahu wa ta‘Ala.
Wallahu ’alam bi ash
showab
Ya Allah kami
sampaikan, Ya Allah saksikanlah.
Saya sarankan
Rekan-Rekan TIM-IF mempelajari proses keimanan terlebih dahulu, namun tulisan
di atas tidak menutup kemungkinan untuk dibaca. Satu hal yang terkait dengan
erat dengan masalah Qadla’ dan Qadar adalah HUKUM ASAL PERBUATAN MANUSIA YAITU
TERIKAT DENGAN HUKUM SYARA’. Insya Allah akan berlanjut.
Sumber Rujukan
1.
Al
Qur’anul Karim
2.
Nidhom
Al Islam, Taqiyuddin An Nabhani
3.
Al
Fikru Al Islamy (Bunga Rampai Pemikiran Islam), Muhammad Ismail
4.
Aqidah
Islam, Sayyid Sabiq
5.
Manhaj
dan Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah, Muhammad Abdul Hadi Al Mishri
Bandung, 20 Juni 1999/
*******************************************************
Singgih Saptadi
Lembaga Pengkajian Islam Strategis (LPIS)
Bandung
LPIS membuka diri bagi Anda yang ingin
mendiskusikan/mempunyai pertanyaan seputar kondisi kaum muslimin saat ini.